PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Suasana di BSI UKM Center, Jalan S. Saddang, Makassar, Senin (3/11/2025), terasa berbeda. Hangat, akrab, dan penuh semangat literasi. Di ruangan yang sederhana namun sarat makna itu, sepuluh penulis dari berbagai latar belakang berkumpul, bukan sekadar untuk meluncurkan buku — tapi untuk merayakan rasa.
Buku antologi bertajuk “Koordinat Rasa” resmi diperkenalkan ke publik. Karya kolaboratif ini ditulis oleh sepuluh nama: Asrul Sani Abu, Heny Suhaeny, Rahman Rumaday, Ratna Sari, Risnawati Anwas, Zulhikma Julinda, Gerhanita Syam, Alifah Nurkhairina, Dirk Sandarupa, dan Nasri A. Muhammad Abduh.
Mereka menulis tentang perasaan, pengalaman, dan renungan hidup — dalam bahasa yang lembut namun tajam, dalam kata yang sederhana tapi menyentuh.
“Ini bukan sekadar kumpulan tulisan, tapi perjalanan rasa dari sepuluh hati yang berani membuka diri,” ujar salah satu panitia dengan senyum hangat.
Peluncuran buku ini dihadiri sejumlah pegiat literasi Sulawesi Selatan, di antaranya Yudhistira Sukatanya dan Andi Rosnawati, yang memberi apresiasi atas lahirnya karya yang memadukan keindahan bahasa dan kedalaman makna.
Acara dibuka oleh Kepala Dinas Perpustakaan Kota Makassar, yang diwakili Tulus Wulan Juni, S.Sos. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa di tengah derasnya arus digital, kolaborasi literasi menjadi kunci untuk menjaga kemanusiaan tetap hidup.
“Literasi bukan sekadar membaca dan menulis,” ujarnya,
“tapi tentang bagaimana kita menanamkan nilai kemanusiaan dan kesadaran diri dalam setiap karya. Koordinat Rasa ini menunjukkan bahwa rasa adalah peta yang menyatukan kita dalam keberagaman pikiran.”
Dalam sesi bincang hangat yang menyerupai obrolan sore, Prof. Dr. H. Muhammad Asdar, SE., M.Si., CWM, Presiden Projas Institute sekaligus Ketua Senat FEB Unhas, memuji kedalaman pesan yang dihadirkan para penulis.
“Buku ini menuntun pembaca pada perjalanan rasa,” katanya.
“Setiap penulis membawa peta batinnya sendiri, tapi mereka bertemu di satu titik: kemanusiaan dan kesadaran akan makna hidup.”
Nada serupa disampaikan Dr. Drs. H.M. Dahlan Abubakar, M.Hum., akademisi dan tokoh pers nasional. Ia menyebut Koordinat Rasa sebagai bukti bahwa literasi masih memiliki ruang yang hangat di tengah hiruk-pikuk digitalisasi.
“Para penulis di sini telah menolehkan sejarah,” ujarnya pelan.
“Sejarah tidak hanya lahir dari peristiwa besar, tapi juga dari kisah-kisah kecil manusia yang menuliskan hidupnya.”
Dr. Dahlan kemudian membagikan kutipan reflektif dari dua tokoh dunia.
“Hidup adalah serangkaian pengalaman: setiap pengalaman membuat kita lebih besar, walaupun kita tidak menyadarinya,” – Henry Ford.
“Seni hidup adalah seni menggunakan pengalaman Anda sendiri dan pengalaman orang lain,” – Viscount Samuel.
Ia menutup ulasannya dengan kalimat penuh makna:
“Sepuluh orang di dalam Koordinat Rasa ini telah menunaikan pesan kedua sosok hebat tersebut.”
Acara yang dipandu dengan hangat oleh Dr. Filawati, S.Pd., M.Hum. berjalan cair dan penuh tawa kecil di antara refleksi mendalam. Di setiap sesi, para penulis berbagi kisah di balik tulisan — tentang kehilangan, perjumpaan, cinta, dan ketabahan.
Di penghujung acara, seorang penulis berbisik pelan, “Menulis itu seperti memeluk diri sendiri. Tapi hari ini, kami belajar bahwa lewat tulisan, kami juga sedang memeluk orang lain.”
Dan di situlah, Koordinat Rasa menemukan maknanya — bukan sekadar buku, melainkan ruang perjumpaan antara pengalaman, rasa, dan kemanusiaan yang abadi. ( ab )

                                    