Ia juga mendorong MAF terlibat dalam penyusunan blue print kebudayaan Makassar, dengan melibatkan semua unsur—pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media—dalam satu model kolaborasi yang disebut penthahelix.
Seni Sebagai Ruang Damai dan Regenerasi
Salah satu inisiator MAF, Asmin Amin, mengenang bahwa forum ini dulu lahir di tengah situasi sosial politik yang menegangkan. “Kami melihat seni bisa jadi resolusi konflik dan media transformasi budaya,” tuturnya.
Rusdin Tompo, penulis dan penggiat literasi, menambahkan pentingnya kolaborasi lintas instansi. “Dinas Pariwisata bisa fokus di promosi, Dinas Kebudayaan di pelindungan nilai, dan Dinas Pendidikan di edukasi,” jelasnya.
Sementara itu, A. Makmur Burhanuddin yang oleh teman-temannya disapa Noval menilai semangat kebangkitan seni ini sejalan dengan visi-misi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar. Adapun Idwar Anwar mengingatkan pentingnya regenerasi.
“Event seperti ini harus melahirkan seniman baru dari komunitas di tingkat kelurahan. Dengan begitu, atmosfer seni budaya Makassar akan terus berdenyut,” kata Idwar, yang akrab disapa Edo.
Seni yang Menyatu dengan Kehidupan
Pertemuan sore itu bukan sekadar rapat kerja atau audiensi formal. Di antara tawa ringan dan nostalgia masa lalu, terselip satu tekad bersama: mengembalikan Makassar sebagai kota yang hidup dari seninya.
Jika benar-benar terwujud, Makassar Arts Forum bukan hanya akan menjadi agenda seni, tetapi juga gerakan kebudayaan—sebuah ruang di mana kata, warna, dan bunyi kembali menyatu dengan kehidupan kota. (RL)

