PEDOMAN RAKYAT, JENEPONTO. - Pagi di Kampus Institut Turatea Indonesia (INTI) Jeneponto, Senin (17/11/2025), terasa lebih hidup dari biasanya. Deretan mahasiswa tampak hilir-mudik membawa map tebal, beberapa di antaranya masih sempat menghafal poin-poin penting dari penelitian mereka.
Sebanyak 125 mahasiswa dan 20 orang dosen penguji dari Prodi Ekonomi Pembangunan, Biologi, Pendidikan Bahasa dan Sastra, Matematika, hingga PGSD bersiap menghadapi ujian meja, tahapan akhir sebelum gelar sarjana benar-benar mereka genggam.
Di halaman kampus, ada juga orang tua atau saudara yang ikut mengantar menunggu dengan wajah tak kalah tegang. Ada yang memeluk tas kecil berisi bekal, ada pula yang duduk di kursi panjang dibawah pohon bambu sambil terus-menerus membaca doa.
Pengarahan Rektor: “Ini Bukan Akhir, Tapi Awal dari Tanggung Jawab Baru”
Sebelum ujian dimulai, Rektor INTI Jeneponto, Prof. Maksud Hakim, memberikan pengarahan kepada seluruh peserta. Dengan tutur yang tenang, ia mengajak mahasiswa memandang ujian meja sebagai ruang dialog ilmiah, bukan arena menakutkan.
“Kalian sudah melewati revisi-revisi panjang, bimbingan, dan diskusi. Ujian meja adalah kesempatan kalian menunjukkan pemahaman, bukan menguji keberanian. Kami ada di sini untuk menilai proses, bukan mencari kesalahan.”
Rektor juga menegaskan bahwa keberhasilan ujian bukan hanya tentang nilai, tetapi tentang kedewasaan akademik.
Pesan Ketua Yayasan YAPTI: “Integritas adalah Modal Utama Kalian”
Ketua Yayasan YAPTI Jeneponto, Maysir Yulanwar, menyusul memberi motivasi. Ia mengingatkan pentingnya menjaga nama baik keluarga, kampus, dan diri sendiri.
“Hasil penelitian bisa berbeda-beda, tetapi karakter kalian harus tetap kokoh. Dunia luar menilai bukan hanya kecerdasan, tetapi juga integritas.”
Ia juga mengapresiasi jumlah mahasiswa yang mencapai tahap ini, menyebutnya sebagai capaian besar bagi kampus dan keluarga mahasiswa.
Komentar Dosen Syahrir Zaini: “Penelitian Kalian Harus Punya Jiwa”
Di tengah suasana ujian, dosen Ekonomi Pembangunan dan Seni, Syahrir Zaini, memberikan pandangannya mengenai karakter mahasiswa yang diuji hari itu. Menurutnya, ujian meja bukan hanya hitungan teori dan data, tetapi juga kejujuran dalam menyampaikan proses penelitian.
“Saya selalu bilang kepada mahasiswa: penelitian itu harus punya jiwa. Kalian bukan sekadar menjawab pertanyaan, tapi mempresentasikan perjalanan yang kalian bangun sendiri,” ujarnya.
Syahrir menilai bahwa mahasiswa tahun ini memiliki semangat yang lebih terbuka dalam menjelaskan metode penelitian dan latar belakang masalah.
“Yang kami cari adalah keaslian. Ketika mahasiswa memahami apa yang ia teliti, ia akan berbicara dengan tenang dan jujur. Itu jauh lebih baik dibanding sekadar menghafal,” tambahnya.
Sebagai dosen yang juga aktif dalam dunia seni, Syahrir mengajak mahasiswa untuk tidak takut menunjukkan kreativitas dan keberanian berpikir.
“Dunia akademik itu luas. Jangan takut memberi warna. Keberanian mengemukakan ide adalah bekal penting di luar sana,” katanya.
Komentarnya memberi sentuhan humanis, seolah mengingatkan mahasiswa bahwa akademik bukanlah tembok kaku, melainkan ruang berkembang.
Ujian Dimulai: Deg-degan, Haru, dan Langkah yang Lebih Mantap
Saat nama peserta pertama dipanggil, suasana berubah hening. Mahasiswa berjalan masuk dengan langkah pelan, sebagian menggenggam kuat map mereka, sebagian lainnya memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri.
Di dalam ruangan, para penguji—termasuk Rektor, Ketua Yayasan, Pembina Yayasan, Bendahara Yayasan dan dosen-dosen senior—menciptakan atmosfer akademik yang ketat namun tetap ramah.
Di luar, teman-teman saling menyemangati, berbagi air mineral, atau sekadar memastikan temannya tersenyum sebelum dipanggil.
Beberapa mahasiswa keluar dengan mata berkaca, bukan karena tertekan, tetapi lega. Ada yang langsung menelpon orang tuanya sambil berkata, “Sudah selesai, Pak… Alhamdulillah.”
Reni Mardiana, Tim 2 dengan NIM 9213490210040 tinggal di Kecamatan Bontoramba langsung
merasa lega dan bersyukur diberi penguji yang pengertian kepada mahasiswanya sehingga sidang kali ini berjalan dengan lancar dan berharap diberi nilai yang bagus.
"Begitu namanya disebut rasanya sesak napas dan gemetar tapi dengan adanya pengertian dari dosen penguji yang berjumlah 4 orang, takut dan gemetar berangsur hilang dan untuk sidang ke 2 dan seterusnya tidak sesak lagi," ungkap Reni.
Lebih dari Sekadar Ujian
Bagi kampus, ujian meja adalah langkah menjaga kualitas lulusan. Bagi mahasiswa, ini adalah pintu menuju kesempatan baru. Namun bagi keluarga yang menunggu di luar, hari itu adalah bukti bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.
Di tengah semangat itu, INTI Jeneponto kembali menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang nilai akhir, tetapi tentang proses, karakter, dan kemanusiaan. ( Ardhy M Basir )


