Oleh: Yulius_Lutim
Jumat (19/12) pagi, halaman sekolah di Luwu Timur tak lagi sepenuhnya milik para ibu. Di antara kerumunan, terlihat sosok-sosok yang biasanya hanya mengantar sampai gerbang yakni para ayah. Ada yang menggenggam map cokelat, ada yang sesekali melirik jam, seolah memastikan dirinya tidak salah tempat. Namun langkah mereka mantap menuju ruang kelas, menuju cerita tentang anaknya.
Inilah denyut dari Gerakan Ayah Ambil Rapor, sebuah inisiatif nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang sederhana dalam bentuk, namun dalam maknanya. Ayah datang ke sekolah, bukan sekadar mengambil selembar kertas berisi angka, tetapi menghadirkan diri dalam satu fase penting pendidikan anak.
Selama bertahun-tahun, sekolah identik dengan ibu. Ibu yang hadir saat rapat, ibu yang berdiskusi dengan guru, ibu pula yang pulang membawa rapor. Ayah sering berada di balik layar, bekerja, mencari nafkah, menitipkan urusan pendidikan pada pasangan. Bukan karena abai, melainkan karena pola asuh lama yang membagi peran secara tak seimbang.
Gerakan ini pelan-pelan menggoyahkan kebiasaan itu. BKKBN ingin menghadirkan pola asuh yang lebih setara dan kolaboratif, di mana ayah dan ibu berdiri sejajar dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Pendidikan bukan lagi beban satu pihak, melainkan kerja bersama.

