Namun, ia juga mengingatkan, di tengah derasnya informasi hari ini, RT dan RW harus menjadi corong resmi pemerintah. Informasi yang keliru, jika dibiarkan, bisa menimbulkan kebingungan dan jarak sosial.
“RT/RW ini corong sah pemerintah,” tegasnya.
Kinerja mereka tidak akan dibiarkan berjalan tanpa arah. Evaluasi akan dilakukan setiap bulan, bukan semata untuk menentukan besaran insentif, tetapi untuk melihat sejauh mana kedekatan sosial—bonding—RT dan RW dengan warganya.
“Yang dinilai bukan hanya angka, tapi hubungan sosial,” jelas Munafri.
Ia juga menyinggung persoalan penggunaan ruang publik—parkir dan aktivitas berjualan di titik-titik yang membahayakan keselamatan.
“Tidak dilarang mencari nafkah, tapi jangan di tempat yang dilarang,” katanya.
Pemerintah Kota Makassar akan menyiapkan pengaturan zona yang lebih tegas dan detail demi keselamatan bersama.
Sementara itu, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kota Makassar, Andi Anshar, menegaskan bahwa RT dan RW merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur pemerintahan di tingkat kelurahan dan kecamatan.
“Setelah dilantik, mereka resmi dan langsung bertugas,” ujarnya.
Peran strategis RT dan RW, kata Andi Anshar, sangat menentukan dalam proses perencanaan pembangunan, terutama melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) bersama LPM, lurah, dan camat.
Evaluasi kinerja RT dan RW tetap mengacu pada regulasi, yakni Perwali Nomor 82 Tahun 2022 dan Perwali Nomor 3 Tahun 2024. Penilaian dilakukan oleh lurah, camat, dan Ketua LPM.
Yang menarik, Pemerintah Kota Makassar akan menerapkan skema insentif berbasis kinerja. Besarannya tidak lagi seragam, melainkan disesuaikan dengan capaian kerja tiap RT dan RW.
Insentif dibagi dalam tiga rentang:
Rp300 ribu–Rp600 ribu,
Rp600 ribu–Rp900 ribu,
dan Rp900 ribu–Rp1,2 juta per bulan.
Penilaian mengacu pada sembilan indikator utama, mulai dari pengelolaan Lorong Wisata, Bank Sampah, retribusi sampah, kepatuhan PBB, hingga penerapan program Sombere dan Smart City.
Termasuk pula administrasi, deteksi dini kerawanan sosial, pendataan penduduk non permanen, dan mitigasi bencana.
Hari itu di Karebosi, ribuan RT dan RW pulang membawa lebih dari sekadar SK pelantikan. Mereka membawa amanah—bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih, tetapi soal mengurus, mendengar, dan melayani.
Dari lapangan kota, demokrasi Makassar kini berjalan menuju lorong-lorongnya. (Ardhy M Basir)

