Oleh : Adekamwa (Humas Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan Makassar LAN RI)
Hujan Desember kembali membasahi aspal Makassar. Di penghujung tahun ini, saat kita seharusnya meluangkan waktu untuk menenangkan diri dan berefleksi, sebagian besar dari kita justru terjebak, lagi-lagi, di tengah antrean kendaraan yang mengular.
Dari balik helm yang basah, Penulis memandang kota ini. Makassar telah berubah raksasa. Gedung-gedung tinggi mencakar langit, lampu-lampu kota bersinar 24jam, dan jargon “Smart City” terpampang gagah di berbagai sudut.
Namun, mari kita jujur pada diri sendiri, Apakah jiwa kita sudah semodern kota tercinta?
Kita bangga menyebut Makassar sebagai metropolitan. Namun, setiap pagi, jalanan kita berubah menjadi arena pertarungan ego. Bukan lagi tentang siapa yang berhak jalan, tapi siapa yang paling berani memotong jalur.
Trotoar, yang sejatinya adalah karpet merah bagi pejalan kaki, kini menjadi lahan parkir “pribadi” toko dan kafe. Kita melihat mobil mewah terparkir di bahu jalan yang sempit, menyebabkan kemacetan panjang, dan pemiliknya merasa itu hal yang wajar.
Kemacetan di Makassar bukan sekadar karena jalan yang kurang lebar, tapi karena hati kita yang kurang lapang untuk berbagi ruang.
Jebakan “Kenyamanan” yang Menipu
Satu hal yang lebih mengerikan daripada kemacetan adalah rasa maklum terhadap kekacauan itu sendiri.
Tidak tertib tidak lagi dianggap masalah, tetapi “kenyamanan” baru.
“Pak Ogah” yang menguasai persimpangan dan bahu jalan yang berubah menjadi lahan parkir dianggap wajar. Pelanggaran demi pelanggaran dimaafkan atas nama kearifan lokal.
Ironisnya, meski kita hidup di era digital dengan gadget di tangan, perilaku di jalanan masih sangat analog.

