Oleh : H. Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Saya masih ingat ketika menyusun skripsi sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana di Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar. Judul yang saya ajukan awalnya diragukan untuk dapat dilanjutkan. Namun, dengan penuh percaya diri, saya sampaikan ke pihak terkait, insya Allah saya mampu tuntaskan tulisan dengan judul, Al- Chitabah siyasiyah wa atsaruhaa fi ashri shadri al- Islam.”
Saat itu, salah seorang teman karib memiliki kenalan mahasiswa di FISIP Universitas Hasanuddin. Dari kawan tersebut, saya banyak mendapat referensi tentang politik.
Salah definisi politik yang tidak dapat saya lupakan adalah ungkapan, “Ketika anda mengatakan anda tidak suka politik, sesungguhnya anda sudah berpolitik.”
Ini hanya secuil defienisi dari sekian definisi politik yang berkembang di dunia akademik, entah defienisi politik bagi para praktisi politik.
Tulisan ini sengaja diangkat untuk menanggapi diskusi menarik mengenai Islam dan politik yang berkembang di beberapa group WA, tentang pemanfaatan praktik keagamaan untuk kepentigan politik. Ada yang pro dan kontra.
Bernard Lewis, salah seorang Guru Besar di Universitas Princenton, Amerika Serikat, pernah membuat satu kesimpulan. Salah satu ciri yang membedakan agama Islam dengan Yahudi dan Kristen adalah perhatian besar dan keterlibatan langsung yang ditunjukkannya terhadap tata kelola negara dan pemerintahan, hukum dan perundangan.
Dengan kata lain, Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, tetapi politik sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebih mulia yakni kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
Satu tulisan menarik lainnya, pernah ditulis oleh mahaguru dan mahaterpelajar Prof Dr Qurays Shihab. Ketika Rasulullah SAW melakukan tawaf bersama para sahabat, pada tiga putaran pertama Rasulullah SAW melakukannya dengan berlari-lari kecil.