Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Perang Siffin pecah ketika Muawiyah ibn Abi Sufyan mendeklarasikan diri sebagai Khalifah dan menyatakan mosi tidak percaya kepada kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib.
Sebenarnya, Ali sudah berada di atas angin untuk memenangkan pertempuran, namun atas nasihat ahli strategi Muawiyah, Amr ibn Ash, menyarankan kepada Muawiyah untuk melakukan perdamaian dengan pasukan Ali ibn Abi Thalib, dengan cara menusuk mushaf di ujung pedang mereka.
Awalnya, Ali menolak tawaran Muawiyah, namun atas desakan sebagian pasukannya, akhirnya Ali menerima tawaran tersebut, lalu dilakukan arbitrase oleh kedua belah pihak.
Saat itu, Ali diwakili Abu Musa al-Asy’ari, Muawiyah diwakili Amr ibn al-Ash. Dalam arbitrase tersebut, Abu Musa al-Asy’ari merasa dikhianati oleh Amr ibn al-Ash, karena mengkhianati kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya. Dampak dari arbitrase tersebut, sebagian pasukan Ali memisahkan diri dari Ali dan mereka disebut sebagai kaum Khawarij.
Di tengah ketegangan yang makin memuncak antara Ali dan Muawiyah, Aqil ibn Abi Thalib mendatangi abangnya, Ali sambil mengiba dan memohon, “Ya Ali, engkau adalah saudaraku, engkau seorang kepala negara. Bantulah adikmu ini, saat ini adikmu sedang membutuhkan sejumlah uang untuk kebutuhan sehari-hari.”
Ali menjawab, “Maaf saudaraku, demi persaudaraan kita saat ini, saya tidak memiliki uang. Memang aku memegang kunci bait al-mal, perbendaharaan negara, tetapi uang itu milik rakyat, bukan milikku pribadi.”