Catatan M. Dahlan Abubakar
Di pondok ini, di atas kolam di ujung kampung kelahiran saya, Desa Kanca, Kecamatan Parado, sebuah permukiman kecil diapit bukit, 55 km ke arah selatan Kota Bima, saya menulis cerita ini. Masih pagi benar, 13 Februari 2020, saya terima kepergian Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany yang sangat menyekakkan hati.
Saya menulis kisah ini dengan sanubari pilu, meningkahi kesedihan yang tidak tertara karena tak sempat menatap terakhir kali ketika Pak Radi menghadap Al Khalik. Air mata ini tak henti menetes saat membesuk keempat kalinya, termasuk sekali ketika dirinya terbaring kaku di ruang rawat intensif rumah sakit almamater kita dengan tubuh berseliweran kabel medik.
Prof. Dr. Ir. H. Radi A. Gany, inilah persembahan sebagai monumen persahabatan kita yang unik sepanjang 33 tahun tanpa putus. Persobatan unik karena posisi sebagai orang yang lebih muda, saya anggap Pak Radi sebagai ayah. Usia saya yang lebih muda 11 tahun menempatkan Pak Radi sebagai orang tua saya di rantau. Saya sebagai bawahan, ketika menjabat Pak Radi Rektor Universitas Hasanuddin antara tahun 1997 hingga 2006 yang sarat cerita dan kisah.
Pak Radi kerap menganggap saya sebagai kawan, ketika sedang berdua berjalan sebagai sahabat tanpa sekat. Meniadakan dinding bawahan, gelar, statifikasi sosial, usia, pangkat, dan entah apa lagi di antara kita saat se-pembaringan di Dili Timor Timur (1994) dan di Bantaeng yang saya sudah lupa tahun pastinya.
Catatan ini saya copot dari buku berjudul “Raibnya Cincin Permata Ungu” yang menjadi pengantar dari sebuah karya elegi duka khusus memperingati setahun kepergian Pak Radi. Buku ini merupakan karya pertama yang bergenre “elegi” dari puluhan karya yang pernah saya gores. Kisah Pak Radi dalam berbagai ruang dan cerita kita yang tak terbilang waktu. Belum pernah saya rasakan persahabatan yang demikian lekat dan dekat selain bersama Pak Radi.
Kita saling berkomunikasi jika lama tak sua dan mulai dibekuk rindu. Saya sangat maklum, Pak Radi selalu ingin ada teman untuk berbincang dan bercerita. Membahas dan menyoal apa yang hendak dilakukan, termasuk yang hendak ditulis memenuhi obsesinya sebagai penulis pascapensiun dan menapaktilasi perjalanan Alfred Russel Wallace yang membuat Wallace Line, Garis Wallace.
Saya begitu terharu, dalam sakitnya, saat Pak Radi masih memaksakan diri meski menggunakan kursi roda keluar dari kamar tempat biasa terbaring. Di kamar itu, saya sekali dua ikut mengangkat tubuh yang kian ringkih bersama Aco dari kursi roda ke pembaringan. Dalam kalimat yang tidak saya pahami sambil duduk di kursi roda Pak Radi mengatakan sesuatu. Ternyata, meminta diambilkan laptop. Putra saya Haryadi (Heri) menghidupkan laptop saat almanak menunjuk 8 Januari 2020.
Ternyata di situ ada tiga tulisan terakhir Pak Radi. Saya sangat sedih dan terharu, beliau benar-benar seorang penulis hingga tubuhnya kian ringkih. Beliau peringati usia ke-77 (30 Oktober 2019) dengan menggores tiga tulisan yang sangat fenomenal mengenai disiplinnya dan juga tentang pesan-pesan moral yang selalu beliau katakan kepada saya dan kepada siapa pun, tentang keadaban, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, dan akhlak.
Minus 1 tahun 11 bulan 13 hari