PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Provinsi Sulawesi Selatan, Rusdin Tompo, mengajak mereka yang hadir dalam acara “Senja di Pantai Losari” untuk menulis, merekam peristiwa, yang menurutnya telah banyak berubah.
“Pantai Losari ini merupakan ikon Kota Makassar. Ada banyak kenangan dan sejarah di sini. Perlu kita dokumentasikan dalam bentuk buku,” katanya.
Dia mencontohkan backdrop yang jadi latar belakang acara. Menurut pendesainnya, Maysir Yulanwar, foto yang ditampilkan dipotret saat Pantai Losari belum terjamah reklamasi. Menarik, lanjutnya, bila kita bikin buku Losari dalam sastra, berisi puisi, cerpen dan esai.
Iwan Azis, pengusaha reklame, juga mengakui banyak perubahan, yang membuat warga tak bisa lagi menikmati horizon seleluasa dahulu. Dari Jalan Penghibur yang jadi lokasi acara, terlihat tiang-tiang pancang proyek Center Point of Indonesia (CPI). Dia mengenang, di tahun 80an, anak-anak muda biasa bermain sepeda BMX di atas bentang beton Pantai Losari.
Bahar Karca, sebelum bernyanyi, juga mengenang Losari sebagai tempatnya mengamen. Diakui, sejak bergabung di Satupena Sulawesi Selatan, dia termotivasi untuk menulis lagu. Itu karena banyak postingan di grup, yang memberinya inspirasi.
Bahar, yang tergabung dalam Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) dan kini bekerja di perusahaan ekspedisi, dalam acara “Senja di Pantai Losari” menyanyikan dua lagu, masing-masing Losariku dan Berartikah Hidupku Ini Ada. Kedua lagu itu, merupakan karya Karca 98. Karca merupakan akronim dari Karaeng Ca’dia.