Catatan M.Dahlan Abubakar (Wartawan Senior)
Kerusakan hutan yang menjadi otoritas pemerintah provinsi, membuat pemerintah kabupaten seolah menjadi penonton belaka atas gundulnya puluhan ribu hektare hutan di Kabupaten Bima. Pemerintah kabupaten tidak bisa mencegah masyarakatnya membabat hutan demi kepentingan ekonomi. Tidak hanya itu, pembabatan hutan ini juga tidak pandang bulu. Kayu menjadi ladang bisnis baru, sehingga truk dengan leluasa hingga ke hutan lindung dan tempat memproduksi kayu.
Pada tahun 2019, setelah tiga tahun hutan habis demi tanaman jagung, aparat TNI turun ke desa-desa yang diketahui sebagai sumber kayu. Dalam sekejap tempat penumpukan kayu seperti di desa SiE Kecamatan Monta, lenyap tiada berbekas.
“Warga memang hanya takut pada personel tentara,” kata salah seorang elite desa.
Kalau aparat Kepolisian — maaf — seperti diungkapkan salah seorang elite desa — tidak membuat warga pelaku pembabatan hutan gelisah. Pasalnya mereka bisa main “86” dengan aparat kepolisian. Dan, itu pun berlaku dalam berbagai tindak kriminalitas lainnya. Masalah pencurian di desa, seperti di Desa Kanca misalnya, dibiarkan saja, meskipun pelakunya sudah diketahui.
“Pantas saja aksi pencurian tidak berhenti. Rumah di ladang tidak bisa ditinggalkan satu menit pun. Sekali waktu, ditinggalkan, mesin pemotong kayu raib. Pelaku tanpa takut, menjual mesin itu kepada warga di desa yang sama,” kata salah seorang warga yang mengaku kehilangan tersebut.
Tampaknya, selain menghutankan kembali kawasan yang sudah gundul, tantangan berikutnya yang dihadapi pemerintah dan aparat terkait adalah maraknya aksi pencurian di desa-desa di Kecamatan Parado. Pencurian ini ditengarai ada kaitannya dengan kenakalan remaja yang terlibat dalam penyalahgunaan obat terlarang, seperti narkoba. Untuk menutupi biaya dan meng-ada-kan ‘barang’ haram tersebut, mereka harus mengambil milik orang lain yang bisa dijadikan uang.
Kecamatan Parado khususnya dan Kabupaten Bima pada umumnya, terjebak pada sebuah dilema. Antara menciptakan ruang usaha bagi masyarakat dan memperoleh sedikit pendapatan, dengan mengorbankan lahan dan kawasan tetap gundul. Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah akhirnya mengambil jalan tengah. Warga tetap boleh menanam jagung, tetapi harus menanam komoditas produktif untuk mengembalikan kelestarian hutan dan lingkungan.
Warga pun menanam kemiri. Banyak yang tumbuh baik, tetapi lebih banyak yang gagal karena tidak dipelihara sebagaimana warga memelihara jagung mereka agar berproduksi maksimal. Tanaman kemiri sekarang malah sudah berproduksi seperti yang yang saya saksikan di Mada Nangga.
Harus diakui benar, kehadiran pertanaman jagung di Bima secara mengejutkan awalnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat petani jagung dan warga sekitarnya. Masalahnya, pekerjaan menanam jagung membuka lapangan kerja baru bagi warga setempat. Hampir setiap tahap proses pengerjaan menanam jagung membuka kesempatan pekerjaan baru bagi masyarakat. Mulai dari membersihkan lahan, menanam, memanen, mengangkut, hingga kepada pekerjaan mengangkut. Ongkos tenaga kerja ini tidak main-main.
Bagi tenaga kerja di desa, bahkan didatangkan dari luar kabupaten, seperti dari Flores dan Sumba, usaha jagung memang menggiurkan. Bayangkan saja, upah seorang pekerja sehari bisa Rp 100.000. Itu pun mereka kerja tidak maksimal karena waktu habis untuk menuju dan kembali dari lahan yang harus melalui jalan kaki. Berusaha jagung di sisi lain menguntungkan para tenaga kerja, tetapi membuat kantong pemilik lahan kosong. Pasalnya, setiap komponen kegiatan mulai dari pembersihan lahan hingga akhir produksi memerlukan dana. Hitung saja berapa banyak dana yang dikeluarkan pemilik lahan.
Untuk level desa, seperti di Desa Kanca Kecamatan Parado Kabupaten Bima, upah kerja seorang sehari (yang terkadang hanya bekerja sampai setelah makan siang) berkisar Rp 100.000 – Rp 150.000. Upah kerja ini berlaku seragam, baik pada saat prapanen maupun saat panen. Anak-anak sekolah dasar pun dapat memanfaatkan waktu setelah pulang sekolah bekerja membantu kegiatan saat dan pascapanen jagung dengan upah Rp 25.000 per orang.
Bisa dibayangkan, dengan hanya bekerja selama 5 hari saja, warga desa sudah pasti dapat mengantongi uang ratusan ribu. Belum lagi kalau mereka bekerja beberapa hari. Dan kesempatan bekerja ini terbuka untuk beberapa warga yang memiliki lahan jagung yang cukup luas. Sebab, seorang terkadang memiliki areal lahan seluas sampai 5 ha. Pekerjaan ini sudah pasti, yang tentu saja tidak kita temukan di kota besar. Apalagi tenaga kerja di desa jumlahnya terbatas, sehingga peluang seseorang memperoleh upah cukup terbuka. Jumlah yang memerlukan tenaga kerja juga banyak.