PEDOMANRAKYAT, LUWU TIMUR – Konflik agraria yang melibatkan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) IV (dahulu PTPN XIV, red) dan masyarakat Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur, terus memanas.
Ratusan petani bersama Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan menyuarakan tuntutan mereka atas perampasan lahan yang berlangsung sejak 1994.
Hari ini, Rabu, 15 Januari 2025, enam petani yang tergabung dalam PPSS, didampingi tim hukum dari YLBHI-LBH Makassar, memenuhi panggilan kepolisian di Polres Luwu Timur atas laporan dari Mugianto, seorang karyawan PTPN.
Sebagai bentuk solidaritas, sekitar 50 petani turut hadir mengawal pemanggilan tersebut. Aksi ini merupakan puncak dari serangkaian protes yang dilakukan sejak 11 Desember 2024.
Para petani mendirikan tenda-tenda perjuangan di area konflik untuk menuntut penghentian aktivitas ilegal PTPN IV di lahan yang mereka klaim sebagai milik masyarakat lokal dan transmigran.
Lahan Transmigrasi Ber-SHM yang Dirampas
Sejak 1994, PTPN IV membuka perkebunan kelapa sawit di Desa Mantadulu, Tawakua, dan Taripa, yang sebelumnya merupakan wilayah transmigrasi dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Lahan tersebut bahkan telah dihuni dan digarap oleh transmigran dari Nusa Tenggara Barat, Pulau Jawa, Bali, serta masyarakat lokal Sulawesi Selatan.
Namun, klaim PTPN atas lahan tersebut berasal dari hak guna usaha (HGU) yang semula diberikan di Desa Baramamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu.
Berdasarkan dokumen resmi, lokasi tersebut telah diambil alih pemerintah pada 1990 dan digantikan dengan lahan baru di Kecamatan Angkona.
Ironisnya, lahan pengganti ini adalah tanah masyarakat yang sudah bersertifikat, termasuk area garapan turun-temurun.