Menjaga Detak Hutan Hujan: Perjalanan Am1en, WALHI dan Warga Adat di Garis Depan

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA — Di sebuah desa di tepian hutan Kalimantan, suara burung Enggang bersahutan dengan langkah kaki seorang perempuan paruh baya yang menyusuri jalan setapak. Di punggungnya tergantung keranjang anyaman bambu, dan di tangannya sebuah catatan lapangan.

Namanya Maria, anggota tim patroli perempuan yang sejak tiga tahun terakhir menjaga batas hutan adat mereka dari perambahan. “Hutan ini ibu kami,” ujarnya sambil menatap rimbunnya kanopi. “Kalau hutan hilang, air hilang, pangan hilang, kami pun hilang,” sambungnya.

Maria adalah satu dari ratusan warga adat, petani, dan perempuan yang terhubung dengan gerakan KABAR AM1EN—kanal advokasi yang diinisiasi oleh aktivis lingkungan Muhammad Al Amin, atau akrab disapa Am1en.

Sejak lama, Am1en bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) membangun jejaring perlawanan terhadap deforestasi, perampasan tanah, dan krisis ekologis.

“Perjalanan ini tidaklah mudah,” kata Am1en, “tapi jelas arah kita: menjaga hutan hujan berarti menjaga kehidupan.”

Ancaman di Bawah Kanopi

Data Global Forest Watch mengungkapkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 292 ribu hektare hutan primer pada 2023—setara dengan ±221 juta ton CO₂ yang terlepas ke atmosfer. Tahun 2024, meski kehilangan berkurang menjadi sekitar 259 ribu hektare, World Resources Institute (WRI) mencatat tren kehilangan hutan primer justru meningkat 27% dibanding 2022, sebagian besar di kawasan lindung.

Bagi Maria dan komunitasnya, angka-angka ini terasa nyata. Sungai yang dulu penuh ikan kini dangkal, sawah-sawah kekeringan di musim kemarau, dan banjir datang lebih cepat saat musim hujan.

Hak Adat yang Tertunda

Hingga 2024, pemerintah baru mengakui sekitar 12 juta acre wilayah adat, sementara ±62,4 juta acre klaim masih menunggu pengakuan. Menurut WALHI, keterlambatan ini membuka ruang bagi masuknya investasi skala besar ke wilayah yang selama ini dikelola turun-temurun oleh masyarakat adat.

Baca juga :  PWI Sepakati MOU Kode Etik Penyelenggara Pemilu

“Kami sudah hidup di sini sejak nenek moyang kami, tapi di mata hukum, tanah ini belum diakui milik kami,” ujar Lasan, seorang kepala adat dari Sulawesi Tengah yang lahannya kini terancam oleh konsesi tambang.

1
2TAMPILKAN SEMUA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Bansos Covid Jadi Bancakan, Tujuh Terdakwa Korupsi Makassar Tersungkur di Meja Hijau

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar menjatuhkan vonis bersalah kepada tiga terdakwa kasus korupsi bantuan...

Kasus TPPU, Sulfikar Kian Terjepit, Hamsul Menepi Lewat Praperadilan

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Lajur hukum Sulfikar semakin sempit. Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan menyatakan...

MTs Sabilit Taqwa Margomulyo Gelar Super Camp 4 Tahun 2025

PEDOMANRAKYAT, LUTIM – Madrasah Tsanawiyah (MTs) Sabilit Taqwa, Desa Margomulyo, Kecamatan Tomoni Timur, kembali menggelar kegiatan perkemahan pramuka...

Gubernur dan Wali Kota Diminta Peduli, Taman Makam Pahlawan Panaikang Kini Terkesan Tidak Terurus

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang Kota Makassar kini terkesan tak terurus. Hal ini terekam sejumlah...