PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR —
Kasus kematian tragis Rifqila Ruslan, remaja berusia 16 tahun asal Luwu, Sulawesi Selatan, kini menyeruak menjadi sorotan publik. Di balik kisah pilu keluarga yang kehilangan buah hati, terselip tanda tanya besar: benarkah Rifqila hanya korban kecelakaan lalu lintas, ataukah ia menjadi korban penganiayaan yang ditutup-tutupi?
Kisah ini bermula pada suatu sore ketika Rifqila terlibat kecelakaan dengan Kepala Desa Seppong, Irwan Sultan. Sepeda motor yang dikendarai Rifqila bertabrakan dengan kendaraan milik Irwan. Meski awalnya dikira insiden biasa, perkembangan berikutnya justru menyeret kasus ini ke ranah hukum dengan dugaan tindak kekerasan berat.
Setelah kecelakaan, Rifqila dibawa teman-temannya ke IGD RSUD Batara Guru Luwu. Namun, menurut keterangan empat saksi AR, RM, IS, dan HL korban belum sempat mendapatkan pertolongan medis. Dua saksi yang berada di dalam ruangan IGD menyebut Rifqila justru menerima pukulan di bagian belakang telinga dan pipinya. Sementara dua saksi lain yang berada di luar ruang IGD mendengar kegaduhan dan melihat korban dalam kondisi semakin lemah.
Kesaksian itu diperkuat oleh seorang sekuriti rumah sakit berinisial MN, yang menyatakan melihat adanya tindakan kekerasan di ruang IGD. Fakta ini sontak mengguncang keluarga korban. Bagaimana mungkin seorang anak yang seharusnya ditolong justru mengalami kekerasan di ruang penyelamatan nyawa?
Tidak berhenti di situ. Motor Rifqila ditemukan hancur parah, padahal benturan hanya mengenai bagian samping knalpot motor Irwan Sultan. Keluarga mempertanyakan logika kerusakan fatal itu, namun jawaban aparat kepolisian dianggap tidak memadai.
Pihak kepolisian kemudian menyimpulkan kematian Rifqila akibat benturan kepala dari kecelakaan. Namun, helm yang digunakan korban masih utuh tanpa retakan, sementara luka justru tampak jelas di jidat yang seharusnya terlindungi helm. Hasil autopsi yang dibacakan hanya menyinggung adanya memar, tanpa laporan lengkap yang bisa dipegang keluarga.
Ruslan, ayah korban, menambahkan bahwa penanganan medis di rumah sakit pun dinilai lalai. “Anak saya hanya diberi infus dan obat pereda nyeri. Tidak ada tindakan penyelamatan lanjutan. Itu jelas kelalaian,” ujarnya dengan suara bergetar.
Kasus ini resmi dilaporkan ke Polres Luwu melalui LP/B/145/VII/2025/SPKT/Polres Luwu/Polda Sulsel. Tindak lanjutnya tertuang dalam SP2HP Nomor B/234/VIII/RES.1.6/2025/Reskrim. Namun, kekecewaan keluarga semakin membuncah ketika dalam SP2HP terbaru, pasal yang dikenakan justru diperingan.
Pada 18 September 2025, Polda Sulsel menggelar perkara khusus. Hasilnya, penyidik Polres Luwu hanya menjerat Irwan Sultan dengan pasal 80 ayat (1) junto pasal 79 ayat (1) UU Perlindungan Anak dan pasal 351 ayat (1) KUHP, yang umumnya dipakai untuk penganiayaan ringan.