Oleh: Muslimin Mawi
“Jangan berhenti sebelum tugasmu selesai.” Petuah ayah di tanah Bone yang menjadi kompas hidup Andi Amran Sulaiman.
Api Amanah dari Barak ke Istana
Suara itu masih menggema dalam ingatan Andi Amran Sulaiman, suara ayahnya yang tegas namun lembut, yang mengajarkannya arti keteguhan dan tanggung jawab. Dari kampung kecil di Bone Sulawesi Selatan, semangat itu kini bergema di ruang-ruang rapat Istana Negara.
Pesan sederhana itu menjelma menjadi sumber energi dalam setiap penugasan negara yang diembannya. Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Andi Amran memikul amanah ganda, sebagai Menteri Pertanian sekaligus Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas). Sebuah tanggung jawab besar untuk memastikan bangsa ini berdiri tegak di atas kemandirian pangannya sendiri.
Langkah Tegas Menuju Swasembada Beras
Dalam konferensi pers di Istana Negara, Kamis (9/10/2025), Andi Amran menyampaikan optimisme yang menggembirakan:
“Alhamdulillah, mudah-mudahan tidak ada aral melintang, dua sampai tiga bulan ke depan Indonesia tidak impor lagi. Kalau cuaca bersahabat, Insya Allah kita swasembada”.
Pernyataan ini tidak lahir dari keyakinan kosong, melainkan berdasar pada data solid dari Badan Pusat Statistik (BPS). Produksi beras nasional diproyeksikan meningkat hingga 33,19 juta ton pada November, dan mencapai 34 juta ton di akhir tahun 2025, naik tajam dibanding 30 juta ton tahun sebelumnya.
Kenaikan produksi ini menegaskan arah kebijakan yang tepat: memperkuat produktivitas petani, memperluas lahan tanam dan memastikan rantai pasok berjalan lancar. Bahkan, BPS mencatat adanya deflasi beras sebesar -0,13%, menandakan harga beras terkendali karena pasokan dalam negeri mencukupi.
“Swasembada bukan sekadar soal beras dan angka statistik, melainkan simbol harga diri bangsa yang tak lagi bergantung pada negara lain untuk makan” – (Andi Amran Sulaiman)
Hilirisasi: Dari Sawah ke Industri Bernilai Tinggi
Setelah yakin swasembada dapat dicapai, Andi Amran melangkah ke babak baru, hilirisasi pertanian nasional.
Ia ingin memastikan bahwa hasil bumi Indonesia tidak berhenti di sawah, tetapi bergerak menuju industri bernilai tambah yang membuka lapangan kerja dan memperkuat ekonomi rakyat.
“Kelapa tidak boleh lagi dijual gelondongan. Dari 2,8 juta ton ekspor kelapa bernilai Rp 24 triliun per tahun, kalau diolah menjadi coconut milk atau produk turunannya, nilainya bisa naik seratus kali lipat, mencapai Rp 2.400 triliun. Ambil separuhnya saja, itu Rp 1.200 triliun,” jelas Andi Amran dengan nada penuh keyakinan.
Melalui Anggaran Belanja Tambahan (ABT) senilai Rp 9,95 triliun, Kementan menyiapkan benih dan bibit gratis bagi petani di seluruh Indonesia. Program ini mencakup 800 ribu hektare lahan perkebunan dan diproyeksikan menyerap 1,6 juta tenaga kerja baru dalam dua tahun.
Tak hanya kelapa, komoditas gambir pun menjadi fokus hilirisasi. Indonesia yang selama ini menyuplai 80% kebutuhan dunia, diarahkan untuk memproduksi turunan bernilai ekspor seperti tinta, kosmetik, hingga bahan farmasi.
“Hilirisasi bukan sekadar kebijakan ekonomi, ini adalah jalan menuju kedaulatan rakyat desa, agar hasil keringat mereka menjadi nilai yang kembali ke bumi sendiri.”
Cermin Kepercayaan Publik