Mengenang L.E. Manuhua : ‘Motret’ Kiri-Kanan, Lolos dari Tangkapan Polisi

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Saat kapal sandar, dia tetap melaksanakan aksinya. Wartawan yang bergaya dengan kamera. Hebatnya lagi, sebelum polisi naik ke kapal, Tete malah sudah ’mendarat’ di dermaga. Hebohnya pula, dia malah sempat menjepret polisi yang akan menggeledah kapal dan menangkapnya. Ketika memotret polisi, seperti layaknya aksi fotografer, dia bergerak mundur. Saat itulah dia bertemu dengan penjemput Ny. Pupela di dermaga. Tete pun segera masuk ke truk yang dipakai menjemput keluarga Pupela.

Tete sebenarnya berniat ke Yogyakarta, yang ketika itu menjadi ibu kota Republik Indonesia. Namun beberapa temannya yang menghadiri sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) menganjurkan agar dia memilih tetap tinggal di Makassar. Namun Soegardo yang memimpin Mingguan “Pedoman” ketika itu menyarankan Manuhua tetap di Makassar saja karena orang seperti dia cukup banyak di Makassar. Sosok seperti dia sangat dibutuhkan.

Tete lahir dengan nama lengkap Lazarus Eduard Manuhua, di Ambon 4 Juni 1925. Dalam jajaran wartawan Indonesia, dia dapat disebut sebagai tokoh pers nasional. Hanya saja, tempat bermainnya yang berbeda. Jika BM Diah, Rosihan Anwar dan lain-lain beredar di Jakarta, Tete justru tetap berkiprah nasional dengan mengendalikan media yang dipimpinnya – Pedoman Rakyat — dari Tanah Makassar Sulawesi Selatan.

Tete bergabung dengan Mingguan Pedoman yang terbit 1 Maret 1947, bersama Soegardo dan Henk Rondonuwu. Media inilah yang kemudian menjelma menjadi Harian Pedoman Rakyat (PR) hingga ’’akhir hayat’’-nya tahun 2007.

Pertemuan Tete dengan Soegardo sebenarnya bermula di pembukaan Parlemen NIT. Saat itu Tete bertugas meliput. Selain berkenalan dengan Soegardo, Tete pun berkenalan dengan Ketua Parlemen NIT Mr. Tadjoeddin Noer, Sukrisno (Antara Jakarta), Siagam (Yogya), dan Wim Latumeten dari Kementerian Penerangan RI.

Setelah Soegardo diusir pemerintahan NIT karena Mingguan “Pedoman” yang dipimpinnya tidak disenangi Belanda. Pimpinan “Pedoman” pun beralih ke Henk Rondonuwu. Tokoh ini kemudian ditangkap Belanda lantaran media yang dipimpinnya dianggap menghina Ratu Belanda, Juliana. Rondonuwu pada tahun 1948 dipenjara tiga bulan.

Baca juga :  Warga Belajen Geger, ODGJ Ditemukan Meregang Nyawa di Bangunan RS Pratama Belajen

Pada tanggal 17 Agustus 1948, selain Mingguan “Pedoman”, juga terbit media baru yang diberi nama “Pedoman Harian”. Kedua media ini dipimpin Rondonuwu. Gara-gara dia ditahan, Mingguan Pedoman yang semula tengah bulanan menjadi mingguan, mandek terbit. “Pedoman Harian” yang terus terbit. Tete pun mengambilalih kepemimpinan media tersebut setelah Rondonuwu mengundurkan diri.

Setahun kemudian (1949), di samping “Pedoman Harian”, juga diterbitkan Mingguan “Pedoman Nusantara”. Media terakhir ini merupakan kolaborasi dari tiga media, “Pedoman, Mingguan Nusantara”, dan Mingguan “Pedoman Wirawan”. Nama ini sebenarnya merupakan gabungan rubrik Pemuda (pada Mingguan “Pedoman”) dengan Majalah Pemuda “Wirawan”. Semua media ini diterbitkan Badan Penerbit Nasional “Pedoman”.

Harian “Pedoman Rakyat” mulai terbit dengan nama itu hingga ‘menemui ajal’-nya mulai November 1950 yang merupakan gabungan dari seluruh media yang ada. Tete pun bertindak sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi hingga akhir hayatnya, 25 November 2003.

Tete termasuk salah seorang yang membidani berdirinya organisasi wartawan Indonesia, PWI Cabang Sulawesi Selatan dan Tenggara tahun 1948. Tetapi sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tete baru tercatat tahun 1954. Nomor Kartu Pers/PWI 23. 0092. 54. P /23. 0168. 53. B.

Lelaki dengan hobi olahraga berburu ini menjalani pendidikan formal di Balai Pendidikan (Taman Siswa) di Ambon pada tahun 1933-1941. Setelah pindah ke Makassar, dia mencoba melanjutkan pendidikan di Fakultas Sosial Politik Universitas Hasanuddin pada tahun 1960. Namun pada tahun 1964, dia memutuskan berhenti kuliah dan memilih bergelut 100% di bidang pers.

Meskipun termasuk “drop out” pendidikan formal universitas, Tete tak pernah berhenti mengikuti berbagai pendidikan nonformal dan latihan. Misalnya saja, Diklat P4 Tingkat Nasional di Jakarta pada tahun 1979, dan Orientasi Kewaspadaan Nasional (Orpadnas) Ujungpandang (1988), serta seabrek seminar, lokakarya, simposium, dan diskusi yang tentu saja beragendakan masalah pers dan penerbitan.

Baca juga :  Hasil Persikabo vs PSM Makassar, Wiljan Pluim Cs Kalah Telak, Makin Sulit ke Papan Atas

Suami Johanna Leonora Wacano (meninggal dunia tahun 1996) ini, telah menjalani pekerjaan di media pers dalam rentang waktu yang cukup panjang. Sebelum ke Makassar, antara tahun 1943-1947, dia menjabat sebagai Redaktur “Sinar Matahari” dan “Masa” di Ambon. Setelah hijrah ke Makassar, dia dipercaya sebagai Wakil Pimpinan “Antara” yang dipegangnya antara tahun 1947-1952. Kemudian, akhirnya menjadi Pimpinan “Antara” Makassar (1967-1970).

Walaupun di luar harian yang dipimpinnya dibebani tanggungjawab yang tak ringan, Tete tetap menjabat sebagai Redaktur/Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian “Pedoman Rakyat” (1947 hingga meninggal dunia 2003).

Selama di Makassar, tak terdengar kencang keaktifan Tete di bidang organisasi politik. Namanya selalu muncul dengan bendera PWI. Dia hanya pernah tercatat di Partai Kedaulatan Rakyat Makassar (anggota, 1947-1948), Ketua Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku Makassar (1947-1950), Sekretaris Gerakan Anak Muda Indonesia Makassar (1948-1950), Sekretaris Badan Penunjang Keluarga Tahanan (1948-1950), Ketua PWI Cabang Makassar (1948) dan Pengurus PWI Pusat (1988), Anggota Badan Pertimbangan PWI Pusat (1980-1988), Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (1980 -2003).

Putra dari Esau Mateus Manuhua (meninggal di Ambon, 1945) dengan ibu Ruth Karnaty ini memiliki lima saudara kandung (Corlina, Maria, Elizabeth, Johanna, dan Naomi). Dari hasil perkawinannya dengan Johanna Leonora Wacanno, Tete dikaruniai delapan orang anak, masing-masing : Srikasih Nurani, Djajandy Putri, Mediana Farida, Ventje Satriabuana, Ruthiana Junita, Benny Indranusa, Liniaty Canceria, dan Johanna E. Monica.

Sebagai sesepuh pers Indonesia, Manuhua sudah mengantongi penghargaan sangat bergengsi dari negara dan organisasi profesi yang digelutinya. Penghargaan-penghargaan itu adalah : Penghargaan Penegak Pers Pancasila PWI (1989), Bintang Mahaputra Utama (1996), Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI, dan menerima cincin penghargaan dari Pemda Sulsel sebagai warga Sulsel yang memperoleh Bintang Mahaputra Utama (1996).

Baca juga :  Kejari Ajak Siswa SMAN 3 Selayar, Kenali Hukum Jauhi Hukuman

Ketika masih aktif meliput, terutama pada saat berkecamuknya gerombolan Qahar Muzakkar, Tete sering ikut bersama tentara yang melaksanakan operasi saat Jenderal Jusuf menjabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin (sebelumnya Kodam VII Wirabuana dan kembali ke Kodam XIV Hasanuddin lagi). Dia sangat dekat dengan mendiang Jenderal M. Jusuf.

Selasa malam, 25 November 2003, pendiri harian “Pedoman Rakyat” itu meninggal dunia dalam usia 78 tahun, di Rumah Sakit Hikmah Makassar. Penyakit stroke yang telah dideritanya sejak tahun 1991 menjemputnya menuju kematian.

Jenazah wartawan senior ini dimakamkan di Pemakaman Kristen Antang pada Rabu (27-11-2003) dalam upacara militer (karena sebagai penerima Bintang Mahaputra Utama RI), berdampingan dengan pusara istrinya yang meninggal dunia tujuh tahun sebelumnya.

Laporan jurnalistiknya yang dimuat bersambung di Pedoman Rakyat, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk stensilan yang berjudul “Kisah Penyergapan Kamuz (Kahar Mudzakkar)” direvisi dan diperkaya. Catatan-catatan tersebut kemudian dikemas oleh salah seorang wartawannya, yang juga ikut menjadi penulis buku ini dengan memerkayanya dengan berbagai informasi pendukung lainnya dari beragam referensi dan wawancara. Buku itu dalam proses pencetakan dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas Jakarta dengan judul “Qahar Mudzakkar Detik-Detik Terakhir”. Buku setebal 181 halaman itu ditulis L.E. Manuhua dan M.Dahlan Abubakar. (*)

1
2
TAMPILKAN SEMUA

1 KOMENTAR

  1. Luar biasa perjuangan yang dilakukan bapak L.E Manuhua , yang menginspirasi perjuangan para alumni Pedoman Rakyat, untuk tetap eksis mengibarkan bendera Pedoman Rakyat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Mengenang Mappinawang : Selamat Jalan Kakak dan Sahabatku, Ammuliang maki ri Allah Ta’ala Akang

Oleh Salahuddin Alam Tidak biasanya tetiba seorang sahabat lama di LSM dan mantan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Wahyuddin...

Religiusitas dalam Novel “Kemarau di Sedanau”

Oleh: Ipa Bahya (Alumnus UGM) NOVEL “Kemarau di Sedanau” terbit 10 Desember 2023 dengan tebal 320 halaman. Meskipun novel...

BUMDes dan Ketahanan Pangan : Antara Harapan dan Tantangan di Ujung Jalan

Oleh : Yulius , Camat Tomoni Timur, Luwu Timur Di tengah hiruk-pikuk wacana ketahanan pangan, desa-desa di Indonesia termasuk...

Yang Tersisa dari Banjir Bandang Wera Bima: Iqbal Kini Yatim Piatu

PEDOMANRAKYAT, BIMA -- Sore hari, 2 Februari 2025, Juliani bersama suami keduanya, Alwi, berada di rumah mereka di...