“SE itu tidak ada kekuatan secara formil dan materiil, melainkan aturan tersebut mengganggu aqidah umat Islam,” nilainya.
Ismail memastikan SE bukan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving). Sehingga SE tidak bisa dijalankan oleh masyarakat pada umumnya dalam hal ini jamaah masjid dan mushola. Menag jangan bikin gara-garalah.
“Dari segi formatnya, SE ini berlaku bagi internal atau bawahan dari yang mengeluarkan SE. Masjid dan mushola ini bukan bawahan dari Menang Yaqut jadi tidak berlaku tidak ada kewajiban struktur organisasi di dalam masjid menaati SE Menag,” ungkapnya.
Dia menyarankan jika Menag serius ingin mengeluarkan suatu aturan yang memiliki kekuatan hukum mengikat, maka jangan menggunakan SE tetapi aturannya sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011).
“SE ini tidak ada dalam hierarkie perundang-undangan,” katanya.
Bahkan menurutnya, kebijakan Menag mengeluarkan SE mengatur suara adzan melanggar syariat dan konstitusi Pasal 28E UUD 1945. Di mana Pasal tersebut menjamin warga negara beribadah menurut agamanya.
“Mengumandangkan Adzan itu adalah bagian dari ibadah Karena Dia memanggil orang yang beragama Islam untuk menunaikan salat menghadap Allah Robbullamin,” pungkasnya. (*)