[caption id="attachment_4326" align="alignnone" width="300"] Alm.Andhy Pallawa[/caption]
PEDOMANRAKYAT, Makassar - Hari ini, Ahad, 6 Maret 2022, sekitar pukul 16.00 Wita, jagat penulis buku otobiografi Sulawesi Selatan kehilangan seorang sosok kreatif yang sering menggunakan nama pena Andhy Pallawa.
Kepergian almarhum menyisakan kita di Sulawesi Selatan perginya seorang penulis biografi yang produktif.
Terakhir saya menerima karyanya berjudul “Biografi Inspiratif AKBAR SILO Meniti Hidup Merajut Makna” yang ditulisnya bersama dengan Ikhwanul Qiram.
Almarhum Andhy Pallawa telah menulis puluhan biografi dan mengedit sejumlah buku lainnya. Setiap dia usai menuntaskan menulis satu buku, saya tidak pernah lupa dia kabari.
“Masih di percetakan Jakarta,” begitulah tambahan kalimatnya jika buku itu belum tiba di tangannya. Dia juga sering menambahkan, “saya akan segera kirim”.
Selalu memperoleh hadiah buku dari almarhum, saya pun tidak pernah absen menghadiahkan buku karya-karya saya. Ketika saya menerbitkan buku otobiografi berjudul LORONG WAKTU (hlm 550-553) almarhum juga ikut berkontribusi di dalamnya dengan mengirim tulisan berjudul ““Duduk Seperti Kucing, Melompat Seperti Harimau”.
Selengkapnya almarhum menulis begini: “Saat akan memulai tulisan ini, saya teringat dengan ungkapan hikmah dari Ibnu Qudamah Al-Maqdisi yang membahas tentang sikap rendah hati atau tawadhu. Ahli fikih kelahiran Palestina ini mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya pada diri seseorang terdapat dua sisi dan pertengahan. Ada sisi yang cenderung berlebihan atau sombong, dan ada sisi yang condong pada kekurangan atau kehinaan.
Di antara keduanya, ada pertengahan yakni rendah hati alias tawadhu. Inilah sikap yang terpuji, yakni merendahkan hati tanpa menghinakan diri”.
Di mata saya, H.M.Dahlan Abubakar adalah sosok yang rendah hati. Ini dibuktikan dengan kemampuannya membaur dengan semua kalangan dalam segala situasi. Wilayah dan jelajah interaksinya seolah tak bertepi sebab menembus semua sektor dan teritori pergaulan.
Pikiran dan tindakannya bisa terkoneksi dengan bermacam jenis orang yang memiliki beragam pandangan dan kepentingan. Bersisian dengan itu, dia juga terbuka dengan saran atau masukan dan tidak keras kepala untuk selalu merasa benar. Tak heran jika Pak Dahlan – begitu kerap saya sapa – sukses meniti perjalanan kariernya sebagai wartawan dan guru dari para wartawan.
Sebagai wartawan, dia sukses membetot sejumlah penghargaan atas tulisan-tulisannya, dan sebagai guru, beliau telah mencetak puluhan wartawan dan penulis andal.
Sengaja saya menekankan aspek kerendahan hati, sebab dalam amatan saya, hal tersebut kini sudah menjadi “barang langka”. Di era hiperkompetetif dan individualis saat ini, seperti lirik musik country, “Menjadi rendah hati sulit saat Anda merasa sempurna dalam segala hal”.
Fenomena konyol ini nyaris tertampakkan di hampir semua palagan kehidupan termasuk di dunia kewartawanan. Di banyak kesempatan saya acapkali miris menyaksikan tingkah beberapa oknum jurnalis zaman now yang sok jago padahal isi kepalanya kosong melompong.
Mereka tanpa malu mempertontonkan kedunguan yang memuakkan lewat lagaknya yang merasa serba tahu. Mereka terjebak dalam “kesombongan intelektual” yang sejatinya justru menodai nilai luhur profesi kewartawanan.
Ini merupakan bukti betapa mereka menjadi wartawan bukan karena keterpanggilan nurani, melainkan lebih pada pertimbangan pragmatis. Sangat jauh berbeda dengan sosok Pak Dahlan dan beberapa teman segenerasinya yang selalu tertib menjaga muruah (kehormatan) profesi sebab sadar bahwa kewartawanan itu dilihat dari karya, bukan gaya.
Kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki tak sedikit pun membuatnya angkuh apalagi menyepelekan orang lain. Ibarat kata, mereka tetap rendah hati untuk, “Duduk seperti kucing tetapi melompat seperti harimau”.
Saya tidak tahu apakah ini “buah kecut” dari kemajuan zaman atau cermin kian lunturnya nilai-nilai spiritual dalam hidup keseharian yang serba pragmatis.
Memang kerendahan hati adalah proses pembelajaran yang bertumpu pada kesadaran bahwa pasti ada seseorang yang memiliki kemampuan lebih baik dari kita. Orang bijak berkata “Tidak seorang pun yang bisa menjadi yang terbaik dalam segala hal. Bahkan bila Anda adalah yang terbaik dalam melakukan suatu hal, selalu ada hal lain yang tidak bisa Anda lakukan, dan mungkin tak pernah akan bisa”.
Sebagai pembaca setia Pedoman Rakyat sejak di bangku di SMP, nama Pak Dahlan sudah lama saya akrabi. Beliau adalah wartawan yang cukup produktif dengan laporan-laporannya yang menarik, intelek, dan bernilai “human interest” tinggi. Nyata terlihat bahwa dia adalah wartawan yang berpendidikan sarjana di antara dominasi wartawan Pedoman Rakyat waktu itu, yang cuma bermodalkan “bakat alam”.
Saya mulai berkenalan langsung ketika dia menjadi pemateri dalam Pelatihan Jurnalistik Dasar yang diselenggarakan Fakultas Sastra Unhas pada tahun 1986. Beliau membawakan materi Teknik Wawancara, dan sebagai peserta saya sangat menikmati. Masih terkenang dengan pesannya bahwa wawancara yang baik tidak berangkat dari kepala yang kosong.
Artinya pewawancara harus memahami duduk masalah yang ditanyakan dan sudah mengidentifikasi topik wawancara. Pertanyaan “What, When, Who dan Where adalah pertanyaan wajib sedangkan pertanyaan “Why” dan “How” justru lebih wajib lagi sebab akan memberikan kesan manusiawi pada tulisan.
Pak Dahlan juga berpesan bahwa pewancara harus menjadi pendengar yang baik sebab tugas utamanya menggali informasi. Bukan menggurui dan mendebat narasumber, apalagi mau “unjuk gigi” dan ingin terkesan lebih pintar atau lebih paham dari narasumber. Pertanyaan yang rumit dan berbelit juga harus dihindari karena dapat menyulitkan pihak yang diwawancarai atau bahkan tidak nyaman dengan hal yang ditanyakan.
Secara kebetulan, cuma beberapa bulan setelahnya, saya ditugaskan oleh media tempat saya melakukan studi Internship, untuk mewawancarai Pak Dahlan sebagai Kepala Humas Unhas. Topiknya soal Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru yang saat itu lagi hangat diperbincangkan.
Awalnya saya sempat grogi tetapi di luar dugaan, beliau meladeni secara profesional walau mungkin tahu bahwa saya adalah anak “kemarin sore” yang baru lulus pelatihan jurnalistik.
Tak lama “bergenit-genit” sebagai “kuli tinta”, saya lalu memutuskan menekuni dunia penulisan buku khususnya biografi. Dan harus diakui bahwa pelajaran “Teknik Wawancara” yang dijejalkan ke otak saya oleh Pak Dahlan tempo hari, merupakan instrumen penting dalam kegiatan ini. Pengumpulan data urgen dan vital dilakukan lewat serangkaian wawancara panjang untuk menggali sebanyak mungkin informasi tentang sang tokoh. Lewat wawancara, kehidupan sang tokoh dapat diselami sehingga bisa menghadirkan berbagai kisah yang terserak untuk dirajut kembali.
Maklum, biografi itu berkisah tentang anak manusia dengan segala dimensinya. Perasaan, emosi, dan konteks yang melingkupi sebuah kejadian dari hidup sang tokoh, harus dikisahkan utuh dan hal ini hanya mungkin bila didahului dengan wawancara yang mendalam.
Dalam perkembangannya, interaksi dengan Pak Dahlan tidak sebatas sebagai guru-murid. Beliau juga menjadi “narasumber” untuk beberapa buku biografi yang saya tulis. Mulai dari biografi Prof. Jafar Haruna, Halim Homeric, Syamsuddin Umar, Ishak Ngeljaratan, Prof. Alfian Noor, dan Prof. Abdul Razak Thaha. Namun lantaran kesibukan, untuk keperluan ini, beliau memilih menulis sendiri kesan-kesannya terhadap para tokoh tersebut. Tentu saja saya sangat gembira dengan keputusannya ini sebab saya terbebas dari beban moral yang berat untuk mewawancarai Sang Guru. Saya kuatir akan tergagap dan kurang pede untuk meng-interviuw secara langsung.
Saya juga malu bila “tertangkap basah” memperlihatkan kebodohan, sebab dengan beliau sampai kini saya lebih merasa sebagai “ular sawah” di hadapan seekor “naga”.
Itu sebab ketika suatu hari beliau “memuji” buku biografi Syamsuddin Umar “BOLA ITU BUNDAR”, yang saya tulis, saya hanya tersenyum kecil. Bagi banyak orang, mungkin hal itu dimaknai sekadar basa-basi pertemanan yang artifisial. Tetapi bagi saya, lebih dari semua itu sebab Pak Dahlan adalah guru yang telah membekali banyak ilmu. Yah, begitulah caranya seorang guru dalam memotivasi muridnya untuk terus berkarya dan berkarya. Seolah dia berkata, “Tetaplah bersemangat mengembara di dunia kata.
Teruslah menulis dengan sepenuh hati untuk sang tokoh yang telah memercayakan kisah hidupnya kepada Anda”.
“Ars longa vita brevis. (Seni itu tahan lama tapi umur selalu singkat,” dia menutup catatannya.
Dan kini, sahabat yang lahir 9 Maret 1968 itu telah pergi dan meninggalkan dua nisan yang selalu dikenang orang. Nisan pertama di Pekuburan Islam Panaikang, tempat dia dikebumikan. Nisan kedua, buku-buku karya almarhum yang ada di tangan para pembacanya.
Selamat jalan murid, sahabat, dan kolega! (M.Dahlan Abubakar).