Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Menyebut nama Abrahah, kita teringat dengan salah satu ayat al-Qur’an, sura al- Fil. Abrahah, merupakan salah seorang wakil kaisar di negeri Etiopia, yang mengendalikan negeri Yaman. Dia, salah seorang panglima yang disegani.
Saat itu, Kakbah telah dikunjungi oleh banyak pelancong dan menjadi pusat pertemuan bagi beberapa kafilah dari penjuru jazirah Arab. Abrahah, tidak rela Kakbah dijadikan sebagai pusat peribadatan, olehnya ia mendirikan gereja besar, sebagai kiblat umat manusia menggantikan Kakbah. Gereja tersebut didirikan di daerah Shan’a.
Tidak hanya mendirikan gereja, Abrahah juga bertekad menghancurkan Kakbah. Untuk maksud ini, ia mengerahkan 60.000 personel pasukan gagah berani menuju Makkah untuk menghancurkan Kakbah.
Perjalanan Abrahah, tidak berjalan mulus. Sepanjang perjalanan, ia mendapat perlawanan dari masyarakat Hijaz. Walaupun mendapat perlawanan dari beberapa wilayah, namun ada juga daerah yang mengelu-elukan mereka, yakni daerah Thaif, daerah yang sangat menolak kenabian Nabi SAW.
Mendekati daerah Makkah, Abrahah memerintahkan pasukannya beristirahat dengan mendirikan tenda, sambil memantau pasukan masyarakat Makkah.
Ketika persediaan makanan mereka menipis, Abrahah memerintahkan pasukannya merampas ternak milik warga, di antaranya beberapa ratus ekor unta milik Abdul Muthalib, kakek Nabi SAW.
Dalam tradisi perang, sebelum peperangan dilakukan, panglima perang mengirim utusan untuk menyampaikan tantangan perang kepada lawan. Hal ini dilakukan oleh Abrahah dengan mengirim utusan kepada kepala suku Makkah, Abdul Muthalib.
Tantangan yang diajukan oleh Abrahah, tidak digubris oleh Abdul Muthalib. Bahkan, ia memerintahkan masyarakatnya mencari tempat aman untuk berlindung.