Oleh : Mahrus Andis, Budayawan tinggal di Bulukumba
Dulu, di kampung-kampung, di wilayah masyarakat Bugis-Makassar, ada istilah Pua' Jennang. Dia seorang tokoh adat yang diberikan kewenangan khusus untuk mengawasi pelaksanaan tatanan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat.
Apabila ada perilaku anggota masyarakat yang dianggap menyimpang dari tatanan adat maka Pua' Jennang turun tangan: memanggil dan menegur orang yang melanggar itu.
Salah satu perilaku adat yang sering diperbincangkan orang dan sering menjadi objek teguran Pua' Jennang saat itu, ialah Baju Bolong. Untuk menghadirkan seorang bangsawan (keluarga arung atau karaeng) dalam suatu acara pernikahan anggota masyarakat, maka terlebih dahulu dia harus ripaissengngi (semacam pemberitahuan dan undangan langsung untuk datang) oleh keluarga yang punya hajat.
Apabila sudah masuk pada acara pernikahan maka keluarga pemilik hajat (to mappigau) kembali mengutus Pa'duppa ke rumah orang bangsawan untuk mengingatkan puncak acara tersebut. Biasanya Pa'duppa terdiri dari dua orang laki-laki berusia tua dan keduanya harus mengenakan Baju Bolong (sejenis jas terbuka bagian depannya yang berwarna hitam legam atau bolong keppu').
Saya sering mendengar keributan di kalangan orang tua-tua apabila ada Pa'duppa yang tidak memakai baju bolong. Bahkan, tidak sedikit pihak keluarga yang punya hajat mendapat ejekan sebagai orang yang tidak memahami etika dan adat-istiadat.
Kadang-kadang saya mendengar ungkapan seperti ini:
“Iyawe'e matanna esso bottinna. Engkani pole pa'baju bolongnge ma'duppa”. Artinya, hari ini akad nikahnya. Tadi sudah datang utusan yang memakai jas hitam).
Dari cerita pengalaman di atas, kita dapat memahami bahwa Baju Bolong (jas terbuka warna hitam legam) adalah simbol kehormatan bagi masyarakat adat Bugis-Makassar secara turun temurun.
Makassar, 2022