Oleh : Mahrus Andis, kritikus sastra, tinggal di Bulukumba
Pada Bagian pertama tulisan ini, sudah dicantumkan secara utuh puisi Rusdin Tompo yang berjudul Rumah Jabatan Walikota. Puisi tersebut merupakan refleksi imaji penyair tentang pemikiran demokrasi.
Penyair ingin menampilkan secara lanskap di hadapan pembaca tentang dua sisi kehidupan yang berbeda, yaitu: pemerintah sebagai pengelola birokrasi dan rakyat sebagai pemilik demokrasi.
Dunia pemerintahan yang bergengsi, mewah dan eksklusif (idiosinkretis), terwakili oleh sebuah ruang hidup yang bernama "rumah jabatan". Sementara kehidupan rakyat kecil yang tak berdaya disimbolkan dengan tangan-tangan pengemis, tengadah berharap recehan:
Kontradiksi derajat kehidupan di antara keduanya (baca: pemerintah dan rakyat) dapat diketahui pada bait terakhir puisinya;
“... rumah jabatan wali kota kulihat terbuka pagar besinya/
tapi sekelilingnya penuh CCTV dan penjaga/
terasa berjarak penuh curiga/
batas pemimpin dengan rakyat begitu nyata/
potret ironi itu ada di rumah jabatan wali kota/
potret yang kontras bisa ditengok pada kekumuhan warga”
Demikianlah senjata Rusdin Tompo. Dia menembakkan peluru kata-katanya ke dada kehidupan glamor yang dinilai seringkali memboros uang rakyat. Sebuah potret ironi tentang wajah birokrasi yang sarat simbol-simbol jarak dengan dunia sekitarnya.
Melalui puisi tersebut, penyair ingin membuka mata kita bahwa gambaran sebuah rumah jabatan tidak selalu sama dengan realitas yang ada. Seringkali sebuah rumah jabatan hanya menjadi simbol demokrasi. Namun sesungguhnya, perilaku di baliknya tidak lebih sebagai tumpukan hidup yang glamor dan menjadi pusat kebanggaan para penguasa. (bersambung)