Oleh : Mahrus Andis, kritikus sastra tinggal di Bulukumba
Menilik tahunnya, puisi berjudul Lurah Baik tak Bernasib Baik tersebut ditulis Rusdin Tompo di era Makassar berbenah menjadi kota seni-arsitektural: Kota sebagai sentra peradaban milenial di wilayah selatan Pulau Sulawesi.
Namun, rupanya gagasan ini menjadi kandas di sebuah pencitraan, paling tidak, di sudut pandang seorang penyair. Karena itu, Rusdin menulis:
“Makassar metropolitan semakin megah/
tapi warga banyak yang kalah/
mereka tak terkerek hitungan/