Oleh : Mahrus Andis, kritikus sastra tinggal di Bulukumba
Sebuah loyalitas bawahan sering tereksploitasi kinerjanya menjadi sikap ketidakpatuhan terhadap perintah atasan. Dan itu bukan hal luar biasa di dunia birokrasi pemerintahan.
Maka seorang penyair melihat ini sebagai praktik penyimpangan manajerial dan patut diketahui oleh semua pihak, termasuk masyarakat pencinta puisi. Untuk itu, Rusdin menulisnya berikut ini :
“... katanya lelang jabatan/
tetiba lurah dan camat dilengserkan/
digeser, cukup dengan tanda tangan ... “
Senjata kata-kata Rusdin Tompo telah cukup dalam menembus sekat-sekat kebijakan politis birokrasi pemerintahan. Loyalitas dalam wujud kinerja bawahan, sesuai aturan birokrasi, diukur dengan kepatuhan memenangkan idealisme pencitraan.
Dan bagi penyair, rupanya inilah ekspresi manajerial seorang pemimpin yang bertangan besi. Pengendali hukum begitu merdeka mengetukkan palu kekuasaannya, seperti yang terbaca di bait terakhir puisinya ini:
“begitulah hukum besi kekuasaan/
loyalitas adalah harga yang tak boleh ditawar/
siapa mengabdi siapa menjadi apa :
orang baik tak selalu bernasib baik.”
(KsS, Judul: Lurah Baik Tak Bernasib Baik, 2018, hal. 3-4)
Bulukumba, 2022