Sapaan mereka murni sopan santun yang tidak hanya menjadi milik orang tua, tapi juga sampai anak- anak tingkat sekolah dasar. Saya amati, keramahan warga bukan hanya dominasi warga Salib, tapi juga hampir merata di seluruh masyarakat, termasuk remaja- remaja muslim.
Magrib semakin dekat, “maaf pak Ronald, sedikit lagi adzan,” saya pamit menuju Masjid Sabilul Muhtadin. Masjid itu termasuk besar, jamaahnya juga lumayan banyak. Aku menghitung lebih 30 an orang,
Pak Rahmat adalah imam resmi yang memimpin shalat lima waktu. Selama empat hari ikut beribadah dengan mereka, tiga jamaah lainnya bergantian maju ke depan, kalau pak imam berhalangan.
Terus terang saya menunggu dipersilakan pimpin shalat, malah siap sekali- sekali menyampaikan kultum. Ternyata tidak ada tawaran. Menjelang pulang kampung, baru saya tahu. Meski saya jamaah paling senior, namun tidak berkopiah, tidak memenuhi syarat menjadi imam.
Saya juga menemukan perangai baik warga Manado yang kadang- kadang tidak ditemukan di kampung kita.
Sebagai orang baru yang ingin berkunjung ke banyak tempat malu bertanya sesat di jalan.
Saya manfaatkan dengan baik pepatah itu. Mencari Puskesmas tanya tetangga dan tukang ojek. Saat mencari masjid atau rumah makan halal, tanya ibu yang berkerudung. Ingin tahu toko obat china, tanya gadis cantik yang kasir di mart.
” Maaf nak, boleh saya tanya,” saya berusaha sesopan mungkin. “Ikut saja jalur ini, paling ujung kiri,” jawab si cantik manis sekali. Begitu pun ketika mencari pantai untuk terapi air laut. Siapapun yang diminta informasi akan dengan tulus memberi penjelasan lengkap. Lengkap sejelas- jelasnya dan tulus. (H Yasmin Tendan, di Manado)._