Begini Suasana, Berbuka Puasa di Masjid Nabawi

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Oleh : M. Dahlan Abubakar

BAGI mereka yang pernah melaksanakan umrah Ramadan, pastilah menikmati suasana berbuka puasa pada dua masjid suci umat Islam, Masjidil Haram Mekka dan Masjid Nabawi Madinah. Namun, saya akan bercerita bagaimana suasana berbuka puasa di Masjid Nabawi yang pernah dialami itu.

[caption id="attachment_9888" align="alignleft" width="900"] Ilustrasi Suasana Buka Puasa di Masjid Nabawi[/caption]

Saya memperoleh kesempatan melaksanakan umrah Ramadan, boleh dikatakan sudah seperempat abad silam. Tepatnya pada tahun 1996. Namun bukan sisi waktunya yang hendak saya ungkapkan kembali, tetapi suasana berbuka puasa itu sendiri.

Pada saat berangkat dari Bandara Internasional Soekarno Hatta Tangerang, Banten, sore hari dengan pesawat Boeing 747 Garuda Indonesia, jamaah rombongan PT Tiga Utama Indonesia sudah mulai “bermasalah”.

Ceritanya begini. Lantaran kita meninggalkan tanah air satu jam menjelang buka puasa, tentu saja menentukan jadwal buka puasa menjadi persoalan baru di atas pesawat yang terbang ke arah matahari terbenam. Matahari yang sering dijadikan sebagai patokan bahwa sudah boleh berbuka puasa, ternyata sepanjang perjalanan tidak pernah lenyap-lenyap. Saya kebetulan duduk di jendela sebelah kiri, menyaksikan betul sinar matahari sore yang tidak hilang-hilang itu.

Hampir dua jam terbang, beberapa anggota rombongan kami mulai gelisah, Mereka meminta fatwa dari beberapa kiai yang ikut dalam rombongan. Saya masih ingat, di pesawat dalam rombongan kami ada K.H. Zainuddin MZ, Prof. Dr. H. Halide, K.H. Muhammad Nur Iskandar, Prof. Dr. H. Basri Hasanuddin, MA yang dapat dimintai fatwanya.

Kepada merekalah salah seorang jamaah naik ke lantai II Boeing 474 tersebut untuk meminta fatwa. Hasilnya, tidak ada yang pasti, karena masih diharapkan menunggu lenyapnya matahari. Dalam hati saya berkata, bagaimana sinar mataharinya bisa lenyap, pesawat bergerak se-arah dengan terbenamnya matahari. Bingungkan ?

Baca juga :  Permandian Alam Lambira Gowa Lokasinya Tersembunyi di Tengah Hutan

Akhirnya, tidak tahu bagaimana prosesnya sehingga saya kemudian melihat salah seorang penumpang di kursi sebelah mulai mengunyah. Saya pun tidak mau ketinggalan. Soalnya, pesawat sudah terbang lebih dari dua jam dan saya memperkirakan hampir sampai di atas udara Kolombo, Srilanka, di selatan India.

Kami tiba lewat tengah malam di Bandara King Abdul Aziz Jeddah dan langsung melanjutkan perjalanan menuju Madinah menggunakan bus yang cukup nyaman. Rombongan kami memang pas satu bus. Di atas bus dari komunitas wartawan yang masih diingat ada Husain Abdullah, Kak Fahmy Miyala, Asdar Muis RMS (alm), Aidir Amin Daud, dan beberapa lagi nama lain yang sudah tidak diingat lagi.

Dari kalangan artis juga ada. Masih terngiang nama mereka, Dorce Gamalama (almarhum/ah), Dewi Yull, Nia Daniati, Hetty Sonjaya, Tom Tam Group, dan lain-lain. Ketika tiba di Mekkah, saya sempat memperoleh baksis (semacam saweran) dari Mbak Dorce bersama Uceng, panggilan akrab Husain Abdullah saat menunggu acara buka puasa di hotel tempat Dorce menginap. Prof. Dr. Basri Hasanuddin, MA juga memberikan baksis kepada saya dan Uceng, jika tidak salah masing-masing 50 dolar AS. Lumayan.

Hari pertama berbuka puasa di Madinah kami tidak mampu melewatkan begitu saja kesempatan menikmati acara buka puasa di masjid tempat makam Nabi Muhammad saw tersebut. Berbuka puasa bagi orang Indonesia di Masjid Nabawi Madinah merupakan saat yang ditunggu-tunggu.

Hari kian rembang petang, ketika kami menuju Masjid Nabawi. Baru saja kaki melangkah di halaman masjid sejumlah pria berlarian menjemput dan menarik kami dan minta mengikutinya ke dalam masjid. Saya sempat bingung pada awalnya. Mau diapakan kami ini ditarik-tarik.

Baca juga :  10 Wisata Pantai di Makassar yang Cocok untuk Buat Liburan

Tiba di dalam masjid, baru persoalannya jelas. Begitu tiba di pintu masjid, ada lagi laki-laki yang akan menarik tangan kami. Mereka membawa orang yang sudah “dibekuk”-nya itu ke hamparan plastik panjang dan di depannya sudah tersaji kurmi matang dan segelas air minum. Ternyata mereka yang menarik-narik jamaah untuk berbuka puasa di tempatnya itu adalah rata-rata orang Indonesia.

Kami duduk berhadapan dengan jamaah lain, menghadapi hidangan masing-masing, terdiri atas beberapa biji buah kurma yang matang berwarna kuning dan air zamzam yang terisi di beberapa gelas plastik yang berjejer. Setiap orang berdoa sembari menunggu saat buka puasa tiba. Begitu tiba saat berbuka puasa, tangan-tangan lincah itu bagaikan dikomando menyambar pembatal puasa yang mereka pilih. Ada yang memilih air zamzam, dan ada pula yang memilih buah kurma matang, Terserah setiap orang.

Inilah untuk pertama kali saya berbuka puasa di Masjid Nabawi dengan sajian kurma matang dan segelas air zamzam. Ternyata berbuka dengan kurma matang (mangkal) enaknya luar biasa yang tentu saja tidak ditemukan di tanah air.

Kurma matang ini banyak ditemukan dan dijajakan di Masjid Quba. Ketika menunaikan umrah tahun 2017 saya membeli beberapa kilogram kurma tersebut untuk dibawa ke Indonesia. Saya menyimpan di dalam kopor dan diberi plastik. Sebagian saya cicipi selagi di Madinah.

Tiba di tanah air, kurma-kurma tersebut sudah jadi “pisang epek” semua, tertindis barang lain saat dalam penerbangan pulang. Rasa kurma matang yang saya nikmati di Masjid Nabawi lenyap sama sekali. Bahkan, sudah tidak bisa lagi dimakan.

Usai menunaikan Ramadan di Madinah, kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus ke Mekkah. Kami terpaksa singgah berbuka puasa di salah satu warung di luar kota Mekkah karena waktu berbuka sudah tiba sekaligus menikmati udara petang di padang pasar. Pada kesempatan inilah saya menyaksikan pemandangan langit yang bersih tanpa awan secuil pun di angkasa di luar Kota Mekkah.

Baca juga :  Cuti Lebaran, Hutan Mangrove Tongke-Tongke Diserbu Wisawatan

“Pantas saja orang Arab tidak perlu repot-repot mengeker dan meneropong hilal untuk menentukan awal Ramadan seperti di Indonesia,” saya menggumam.

Di Indonesia, orang harus datang ke tepi pantai, ke atas gunung atau gedung tinggi untuk meneropong “si hilal” itu. Anehnya, yang menerepong adalah mereka yang rata-rata sudah sepuh dengan pemandangan yang harus dibantu kacamata, terkecuali petugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menggunakan alat-alat teropong canggih. Saya hanya melihat langit (angkasa) biru di atas sana dengan bintang-bintang yang baru saja mulai bersinar menyambut malam. (***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Rest Area Mangadu, Oase di Jalur Makassar-Jeneponto

Rest Area Mangadu di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, menjadi destinasi istirahat favorit bagi pengemudi dan wisatawan. Terletak di...

Tips Mencari Hotel Harga Murah untuk Tahun Baru

PEDOMANRAKYAT - Tahun baru adalah momen yang diinginkan banyak orang untuk berlibur atau menghabiskan waktu bersama keluarga di...

10 Wisata Pantai di Makassar yang Cocok untuk Buat Liburan

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR -Sebagai ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar dikenal sebagai salah satu kota dengan kekayaan budaya dan sejarah...

Siera Sky View, Magnet Baru Wisata Malino

Oleh M.Dahlan Abubakar (Wartawan Senior) Seminggu sebelum pembukaan “Beatiful Malino” 12-14 Juli 2024, di Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong, diluncurkan...