Catatan M. Dahlan Abubakar
DALAM khutbah Jumat di Masjid Amirul Mukminin Kompleks Unhas Biringromang, Manggala, Makassar, 15 April 2022, khatib mengangkat satu tema yang menarik, berkaitan dengan masalah zakat, infak, dan sederkah (ZIS). ZIS di Indonesia masih timpang dengan realisasi yang mampu dihimpun setiap tahun.
Mengutip ayat yang artinya bahwa kewajiban membayar zakat itu terikut pada kewajiban menunaikan salat wajib, khatib menyebutkan bahwa seseorang yang menunaikan salat wajib membayar zakat maupun sebaliknya, di samping rukun Islam yang lainnya.
Rendahnya realisasi pembayaran zakat ini bukan karena para wajib zakat itu miskin, melainkan karena sama sekali tidak tahu. Mereka tahu melaksanakan kewajiban yang lainnya, seperti puasa Ramadan, namun sering tidak tahu kalau setelah menunaikan ibadah menahan lapar dan dahaga selama sebulan harus diikuti pembayaran zakat (fitrah) hingga menjelang khatib naik di mimbar pada saat salat Idul Fitri.
Mendengar khutbah ini, begitu usai salat Jumat dan tiba di rumah saya pun mulai menyisir dunia maya untuk mengetahui potensi dan realisasi ZIS tersebut. Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Zakat Tahun 2021 di Jakarta 5 April 2022 menyebutkan, potensi zakat mencapai Rp 327,6 triliun. Jauh lebih besar daripada realisasi penghimpunan sebesar Rp 71,4 triliun (21,71%). Potensi zakat yang besar itu berasal dari sejumlah jenis zakat. Di antaranya zakat perusahaan Rp 144,5 triliun serta zakat penghasilan dan jasa Rp 139,07 triliun.
Di Sulawesi Selatan potensi zakat dan infak mencapai Rp 9 triliun. Sebesar Rp 2 triliun di antaranya ada di Makassar. Potensi ZIS sebesar Rp 12 miliar berada di lingkup Pemerintah Provinsi Sulsel bersumber dari 22.432 orang aparatur sipil negara (ASN).
Jika kita menghitung jumlah potensi ZIS ini dengan postur anggaran belanja dan pendapatan nasional (APBN) hingga 31 Desember 2021 mampu tumbuh Rp 2.001,1 triliun, persentasenya mencapai 114,9% dari target anggaran yang sama Rp 1.743,6 triliun. Jika dibandingkan potensi zakat dengan realisasi ZIS pada tahun yang sama Rp 71 triliun persentasenya hanya mencapai 21,71%. Masih jauh dari harapan untuk mencapai separuh dari total potensi ZIS.
Potensi ZIS (2021) tersebut jauh lebih tinggi dari APBN sejumlah kementerian, seperti Kementerian Pertanian sebesar Rp 192 triliun, Kementerian Pertahanan Rp 134 triliun, Kementerian Sosial Rp 106,88 triliun, Kementerian Agama Rp 66,96 triliun, Kemenpora Rp 1,9 triliun. Kalau kita melihat postur ZIS (Rp 327 triliun) tersebut jelas melampaui pagu APBN sejumlah kementerian, kecuali APBN Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang memiliki pagu Rp 541,7 triliun (20% dari APBN).
Melihat potensinya yang begitu besar bagi mendukung perekonomian nasional, tidak heran kalau belum lama ini, Presiden Joko Widodo meluncurkan “Gerakan Cinta Zakat”. Melalui gerakan ini diharapkan bisa meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menunaikan zakat, infak dan sedekah.
“Gerakan Cinta Zakat ini bisa menjadi salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan, penanganan musibah dan bencana serta menuntaskan program SDGs,” Joko Widodo berdalih yang kemudian mengimbau kepada seluruh pejabat negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pihak swasta dan seluruh kepala daerah untuk menjalankan zakat melalui amil zakat resmi demi mewujudkan kesejahteraan dan keberkahan.
Risaukan Penjajah
Dikutip dari laman resmi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) (24/4) diceritakan Islam datang di Nusantara pada awal abad VII Masehi. Kala itu masyarakat belum menganggap zakat sebagai hal yang penting. Walaupun zakat belum jadi aktivitas prioritas, kolonialis Belanda menganggap seluruh ajaran Islam seperti zakat adalah faktor yang menyebabkan mereka sulit menjajah Indonesia khususnya Aceh yang merupakan pintu masuk.
Karena inilah melalui kebijakan Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 pemerintah Belanda melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk priyayi turut serta dalam pengumpulan zakat. Padahal, pemerintah Aceh menggunakan dana zakat untuk pembiayaan perang melawan Belanda. Seperti Belanda yang membiayai perang menggunakan dana pajak.