Ia ibaratnya telah berubah dari anak yang baik menjadi si Malin Kundang anak durhaka.
Kejadian “memainkan” demokrasi ini sebetulnya sudah lagu lama. Ia dapat dilacak dalam banyak studi Ilmu Politik, misalnya tentang democracy for the few, democracy for sale, dan democracy dies.
Tapi umumnya perilaku rezim yang tak terpuji itu berakhir dengan nestapa dan hina. Memang untuk sementara jika berhasil kelihatannya keren. Waktu kemudian membuktikan, mereka dan antek-anteknya hidup menanggung malu (negative-legacy)
Lalu, apa yang diperlukan agar demokrasi bisa survive dari rezim pengganggu ? Demokrasi punya mekanisme checks and balances, atau kekuatan penyeimbang. Di situlah eloknya demokrasi.
Selain kekuatan moral para mahasiswa, di Indonesia kita juga punya dua kamar lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD. Keduanya bergabung menjadi satu di dalam lembaga MPR yang berwenang mengubah konstitusi.
Bila DPR dikuasai oleh eksekutif, DPD yang berasal dari kalangan independen bisa jadi kekuatan penyeimbang untuk memblok tindakan ganjil (anomalie) eksekutif dan DPR seperti rencana mengubah masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode.
DPD di bawah “speaker” LaNyalla Machmud Mattalitti tampak “speak out” dengan tegas dan lugas menolak wacana tak lazim untuk membuka kran pembatasan kekuasaan presiden yang telah diamanahkan oleh reformasi 1998. Salut tentu kita berikan pada DPD.
Ke depan, DPD baiknya diberi wewenang untuk boleh mengajukan dan membahas UU terkait otonomi daerah, otonomi khusus, dan otonomi desa.
Dengan begitu kehadirannya dalam sistem pemerintahan kita bisa lebih bermakna, bukan sekedar “mentimun bungkuk”, masuk karung tapi tak terhitung. (***)