Kak Yudhi – sapaan akrabnya, mengatakan, dia memberi judul Nyanyian Sunyi. Judul tersebut mengingatkannya pada Pramoedya Ananta Toer, yang pernah menulis buku dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Dan karya-karyanya banyak menginpirasi, karena sangat kuat dalam desksripsi.
“Tanpa sadar tulisan-tulisannya menyeret kita dalam ceritanya,” terangnya.
Berkaitan dengan nyanyian sunyi ini, lanjut Yudhi, sebenarnya ada 21 cerpen di dalam buku tersebut, karena sesuatu hal ditambah deadline dari penerbit Lamacca harus mencetaknya, jadinya hanya 20 judul.
“Saya berusaha untuk memberikan deskripsi yang baik, meskipun pada kenyataan sebagian cerpen-cerpen ini sudah pernah di muat Harian Fajar. Dan saya lebih banyak menulis di saat sendiri setelah shalat subuh, karena saya menganggap waktu yang baik. Sehingga itu pilihannya menjadi nyanyin sunyi,” ujar Yudhi – mantan Kepsta RRI di Kepulauan Riau sebelum purnabakti.
Moch. Hasymi Ibrahim – sebagai pembicara menanggapi Buku Nyanyian Sunyi Karya Yudhistira Sukatanya mengenang karya Pramoedya Ananta Toer menulis buku nyanyi sunyi seorang bisu, Amir Hamzah dalam karyannya banyak menulis nyanyi sunyi. Tapi Yudhistira membuat dengan Nyanyian sunyi.
“Saya terdorong analisis judulnya ini melihat nyanyi itu sesuatu tindakan tetapi nyanyian sesuatu yang sudah didendangkan. Yang istimewah dari buku ini adalah kontemplasi dalam perenungannya. Beliau saat ini dalam hal kesalehan yang terekspresi dalam karya-karyannya – lebih religius,” tambah Ami panggilan akrabnya.
Di akhir tanggapanna, Hasymi mengingatkan masa kini harus dibedakan seseorang itu tidak dalam konteksnya akan tetapi apa-apa yang terkespresi, kiprah. Dan ingat, harus ada pembanding di tempat lain. Agar memperkaya kita.
“Olehnya itu kompatibal – masih cocok dengan lingkungan ini. Jadi intinya, kolaborasi, antisipasi, kompatibilitas dan relevansi. Untuk apa?, untuk berkonstribus, kata Hasymi mengingatkan. (*bersambung)