Kembali di Mekkah, dalam hal takbir menjelang salat Idul Fitri, tidak ada orang takbir keliling seperti di Indonesia. Suara takbir hanya terdengar menggema di dalam Masjidil Haram dan melalui pengeras suara di menara-menaranya. Suasana jalan kota biasa-biasa saja (pada waktu itu, sebelum terjadi pembangunan besar-besaran di Kota Mekkah seperti yang saya saksikan pada saat umrah 2017).
Di Jeddah, kami hanya berbelanja di Balad, salah satu tempat berbelanja favorit di kota pelabuhan itu. Barang-barang yang dijual di pasar ini terbilang lengkap. Pasar Balad juga didominasi produk impor dari China atau Tiongkok. Selebihnya adalah impor dari India, Pakistan, Turki, dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Tak hanya itu saja, pasar Balad juga menjadi pusat penjualan elektronik yang cukup dikenal di Jeddah. Jamaah atau pengunjung dari Indonesia diimbau untuk tidak terpisah dari rombongan selama berbelanja di pasar ini. Karena pasar ini banyak sekali blok-bloknya, memungkinkan mereka menyalami kesasar.
Ketika menunaikan ibadah haji tahun 1992, saya sempat bertemu dengan salah seorang tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang sempat curhat tentang keadaannya di Jeddah. Kami (saya dengan TKW) berada dalam dua antrean berbeda. Dia berada di barisan perempuan untuk keluar dari salah satu toko, sementara saya di barisan kaum pria. Kami berbicara, tetapi tanpa saling berhadapan muka. Saya hanya bertanya dan dia menjelaskan permasalahannya. Namun saya juga tidak dapat berbuat banyak tentang masalahnya, karena beberapa hari lagi akan kembali ke tanah air.
Dalam perjalanan pulang dari Jeddah, seorang teman membuat usil dengan mengusik sopir bus yang kebetulan (dari warna kulit dan posturnya) berasal dari Afrika. Di tengah suara takbir tanpa henti di atas bus, teman itu, La Nyalla Mattaliti yang kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, menyalakan sinar laser malalui pointer (yang biasa dipakai saat membawakan presentasi). Cahaya merah yang bergerak liar tepat jatuh di depan sopir. Awal-awalnya sopir tak memberi respon. Lama kelamaan, mungkin dia berpikir ada cahaya aneh, akhirnya terdengar suaranya merespons cahaya merah yang bergerak liar tersebut.
‘’Allah Akbar..Allah Akbar, Lailatul Qadar…Lailatul Qadar…,’’ pekiknya sembari mengemudi mobil dalam kecepatan tinggi.
Para penumpang bus, termasuk saya, tidak pernah tahu penyebab sopir meneriakkan kata-kata itu. Bahkan saya sendiri menganggap biasa saja, karena kami memang sedang dalam takbiratul ihram bareng. Nanti setelah turun dari bus baru ketahuan, kalau salah seorang teman telah mengerjai si Afrika itu. Masya Allah !!!! (*)