Menurut dia, sebagian besar jamaah adalah penganut tariqat Naqsabandiah, namun dari kalangan keturunanan Nabi, para habaib menganut tariqat Alawiyah. Mereka inilah yang memprakarsai salat perpisahan itu.
Di masjid yang mengambil nama pahlawan nasional dari Banten itu, saya mengikuti zikir, doa, shalawat dan wiridan yang begitu panjang menyambut tarawih dan sesudahnya. Saya masih ingat bagaimana ” Asmaul Husna” melantun dari imam yang diikuti para jamaah secara khusu’ ataupun puji- pujian kepada Allah dan rasulnya. Dan banyak lagi kalimah tayyibah lainnya.
Saya juga menemukan masjid yang selalu penuh jamaah pada shalat lima waktu. Masjid Nurul Huda di Kelurahan Ketang Baru Kec. Keling. Di luar Ramadan pun jamaah tetap penuh.
Berbeda sekali dengan Masjid Raya Ahmad Yani Manado, sampai hari ketiga lebaran Rabu malam tadi, jamaah berkurang drastis. ” sebagian besar mudik,” tutur pak imam.
Sungguh banyak pengalaman yang menarik, termasuk mencari keluarga di hari lebaran. Mencari Abd. Rahim keluarga Barru tidak susah ditemukan karena tokoh terkenal dilingkungannya. Istrinya, Hj. Sarce Mokoginta adalah
Ketua Muslimat NU Sulawesi Utara dan H. Rahim sendiri Pengurus NU Kota Manado.
Paling sedikit ada empat masjid yang sudah dibangunnya di wilayah Teling. Pada hari kedua lebaran, ketika kami ke Bitung mencari Muin yang berasal dari Poddo, tidak bersua karena alamat tidak jelas.
Padahal saya ingin membanggakan kepada istri bahwa saya juga ada kekuarga lo di Manado Bitung.
Selamat tinggal Manado. Banyak kenangan dan banyak pula yang bisa ditulis di kemudian hari.
Demikian kontributor Pedomanrakyat.co.id, H Yasmin Tendan Melaporkan dari Manado. (*)