Itulah dua buah baliho yang boleh jadi “magnet” bagi setiap orang yang pernah melintas di depan saung Ina Sei. Dari Kota Bima ke tempat ini, meskipun terasa jauh dapat ditempuh sekitar satu jam, jalan mulus, meskipun ada beberapa bagian yang belum tersiram aspal. Juga ada pendakian tajam. Jalan bertikungan banyak dan menuntut kehati-hatian pengemudi. Hanya terdapat satu jembatan di Jatiwangi, kalau tidak salah, sudah di Kota Bima, yang sedang dibangun permanen. Kendaraan harus melintas di jalan darurat.
Saung makan Ina Sei ini dibuka ketika perempuan yang menikah dengan Gumrih ini belum memiliki anak. Mereka baru memiliki anak setelah 6-7 tahun pasca-menikah. Anak mereka – yang sulung – saat ini sedang kuliah S-3 di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, setelah sempat mengajar dua tahun dan belum memperoleh rezeki diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Ternyata, anak sulungnya inilah yang mendesain baliho yang terpajang di dekat saung Ina Sei.
Yang kedua, sedang mengikuti prorgram S-2 di Universitas Negeri Solo, setelah menamatkan pendidikan S-1 di Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Program Universitas Negeri Mataran (Unram) dan yang terakhir belajar di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta sebuah perguruan tinggi swasta yang berdiri sejak 1965. Si bungsu kini sudah bekerja di Kota Bima dan sudah memiliki rumah sendiri pada salah satu kompleks rumah BTN di Kota Bima.
“Belasan kendaraan datang dan mampir di sini ketika atasannya melaksanakan acara pernikahan di Wera,” ujar Midun, nama kecil Gumri dalam wawancara dengan penulis di rembang petang di saung Ina Sei, 12 Mei 2022.
Midun mengenang, ketika awal membuka saung ini, orang-orang yang mengatur parkir kendaraan dia yang beri upah. Kendaraan parkir gratis. Namun, ada juga yang mengikhlaskan merogoh koceknya untuk juru parkir, meskipun Midun sudah menggratiskan kendaraan yang mampir makan di saungnya. (Bersambung)