Akibat ketidakjelasan akhirnya menimbulkan disparitas berbagai putusan Komisi Etik Polri. Disparitas ini berawal dari alasan PDTH didasarkan pada “Ancaman Pidana” atau “Penjatuhan Sanksi Pidana”.
Apabila didasarkan “Ancaman Pidana” yang selanjutnya diputus oleh Komisi Etik dengan PDTH namun ternyata di Putus oleh Pengadilan dinyatakan “tidak bersalah” berarti Komisi Etik telah melanggar asas di dalam hukum pidana berupa presumption of Innocent: reaksi atas paradigma individualistik.
Dalam hal Pengadilan menyatakan tidak bersalah berarti Putusan Etik berupa PDTH secara otomatis gugur, mekanisme ini seharusnya diatur dalam revisi Perkap sehingga terciptanya keteraturan di dalam transformasi substantif, disamping itu adanya sanksi terhadap komisi etik yang tidak memulihkan nama baik personil yang di PDTH dimaksud.
Klausula dapat dipertahankan menurut pejabat yang berwenang seharusnya tidak dapat digunakan terhadap putusan Pengadilan yang dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi pidana berupa pidana penjara.
Revisi seharusnya mengatur tentang kualifikasi delik apa saja yang harus “bukan dapat” di PDTH walaupun sanksi pidananya yang diputus oleh Pengadilan kurang dari 2 tahun pidana penjara misalnya kualifikasi delik terhadap kejahatan extra ordinary crime, transnational crime dan kejahatan terhadap sumber daya alam. (*)