Oleh M. Dahlan Abubakar
(Wartawan Senior-Tokoh Pers versi Dewan Pers)
SETIAP kita memperingati Hari Bhayangkara, maka yang ada di benak publik adalah munculnya seorang anggota Bhayangkara yang dekat dengan masyarakat dan humanis. Jika merujuk pada obsersi ini seperti didambakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, maka kita akan teringat pada seorang sosok Jenderal (Purn) Polisi Hoegeng Iman Santoso. Kapolri kelima RI yang wafat pada 14 Juli 2004 ini. Dia memiliki integritas dan karakter yang teguh untuk menjaga muruwah Polri dan Indonesia. Ia dikenal jujur, teguh dalam prinsip dan sederhana.
Integritas dan sifat mengabdi kepada rakyat ini pernah dipuji dengan gaya guyon oleh presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (yang akrab disapa Gus Dur) : “hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia : polisi tidur, patung polisi, dan polisi Hoegeng”.
Di tengah kita merindukan seorang Hoegeng Imam Santoso, Selasa, 22 November 2016, detik.com menurunkan berita dengan judul, “Bripka Winardi, Polisi Teladan yang Sukses Ajak Pejudi Tinggalkan Dunia Hitam”. Tulisan ini kemudian dimuat kompas.com 22 Juni 2021 menjelang Hari Bhayangkara ke-75 dengan judul “Bripka Winardi Teladan Polisi Humanis”.
Winardi yang bertugas sebagai Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban masyarakat (Bhanbinkamtibmas) Polsek Bantul ini sangat dekat dengan masyarakat. Dia sosok yang mengabdi pada masyarakat dan peka dengan kondisi masyarakat, tempat dia ditugaskan. Ia berhasil menyadarkan Supriyadi, seorang pejudi dan pemabuk, ke jalan yang benar dengan pendekatan humanis.
“Biasanya kan orang mengentaskan pelaku pelanggaran hukum dengan jalur hukum. Tapi saya dengan jalur kemanusiaan,” tandas Winardi seperti ditulis kompas.com.
Winardi tidak langsung mengajak Supriyadi berhenti berjudi dan mabuk-mabukan meskipun itu merupakan pelanggaran hukum dan merusak citra dirinya. Dia mendatangi rumah Supriyadi guna mengajaknya berbincang-bincang sambil sesekali makan bersama. Ternyata dari interaksi seperti inilah membuat Supriyadi tobat dari perbuatan berjudi dan mabuk-mabukan.
Sir Robert Mark, pria kelahiran Manchester, Inggris Raya 13 Maret 2017, dan pernah menjabat Komisioner Polisi Metropolitan (1972-1977) pernah mengatakan, di era modern senjata polisi bukan lagi ‘water canon’, gas air mata atau pun peluru karet, melainkan simpati dari masyarakat.
“Terciptanya simpati masyarakat ini hanya bisa diraih dari keberadaan polisi yang humanis di berbagai lini kehidupan sosial masyarakat,” kata Sir Robert Mark yang meninggal dunia dalam usia 93 tahun dan pernah memperoleh penghargaan ‘Queens Police Medal’ tersebut.
Hanya saja di lapangan, polisi juga dihadapkan pada buah simalakamma. Dalam bertugas mengatur situasi dan kondisi, semisal menangani unjuk rasa, mereka selalu menjadi objek anarkisme para pengunjuk rasa. Terkadang pengunjuk rasa sudah mempersiapkan alat perang : seperti batu, bahkan anak panah dan busur untuk menghadapi polisi. Ironisnya, pengunjuk rasa yang anarkis seperti ini bukan anak-anak kemarin.
Dalam banyak tulisan di media daring, di Jepang, polisi benar-benar dianggap sebagai sahabat sejati masyarakat. Sikap-sikap humanis yang diterapkan jajaran kepolisian membuat masyarakat cenderung mematuhi perintah seorang anggota polisi. Akibatnya, bagi masyarakat Jepang ditangkap oleh polisi adalah pengalaman yang memalukan. Jarang sekali dari mereka yang tertangkap oleh polisi benar-benar dihukum. Sebab, polisi Jepang lebih bersikap sebagai juru rawat yang senantiasa mengayomi dan membimbing masyarakatnya.
Polisi Jepang sendiri kerap melakukan kunjungan rutin ke rumah-rumah masyarakat yang berada di wilayah binaannya. Selain bersilaturahim, para polisi itu juga menanyakan aktivitas pemilik rumah yang dikunjunginya. Interaksi yang humanis inilah yang menanamkan nilai-nilai persahabatan antara masyarakat dan polisi.