Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Akidah adalah keimanan atau keyakinan. Iman berarti ketenteraman hati dalam menghadapi setiap masalah, tanpa memahaminya dengan akal sekalipun. Iman sejati adalah menerima sesuatu tanpa keraguan, bahwa Allah SWT Maha Hadir, Maha Kuat, Maha Kuasa.
Iman yang bulat perlu dicapai melalui pengerahan daya imajinasi dan hati, bukan melalui penelaahan nalar dan logika. Meskipun nalar dan logika bisa mengarah kepada keimanan, ada masalah tertentu yang akal dan indera dengan segala keterbatasannya tidak mampu memahaminya. Khususnya yang menyangkut hal-hal gaib. Masalah tersebut memerlukan keimanan yang kuat.
Ada tiga tahap untuk meraih keyakinan mutlak. Pertama, keyakinan awal yang bersifat ilmu, dinamakan ilmu yakin. Kedua, keyakinan yang muncul setelah penyaksian langsung, disebut ainul yakin. Ketiga, keyakinan yang mencapai hakikatnya, disebut haqqul yakin.
Contoh sederhananya adalah, suatu ketika seorang tokoh agama dari Makassar pergi ke Malino. Sekembalinya dari Malino sang tokoh bercerita kepada mereka yang senantiasa mengikuti kajiannya, “Ketika di Malino, aku sempat melihat buah-buahan yang besarnya seperti buah semangka; warnanya seperti buah jeruk; rasanya seperti buah pisang; dan aromanya seperti buah apel.”
Karena yang berceritera adalah seorang tokoh agama, kepada jamaahnya, maka semuanya mempercayainya. Sang tokoh berhasil memindahkan ilmu yakin kepada mereka.
Kedua, Sang tokoh menghadirkan buah tersebut di hadapan jamaahnya. Dengan demikian terjadi peningkatan dari ilmu yakin kepada ainul yakin.
Adapun tahap ketiga, sang tokoh mengiris buah tersebut, dan tiap jamaah diberi sepotong untuk dimakan. Inilah keyakinan hakiki atau haqqul yakin.