“Ketika Kasat Reskrim keluar dari tenda otopsi, dia langsung menggiring kakak ke tempat saya berdiri. Terjadilah perdebatan dan sempat bersitegang karena Kasat Reskrim terkesan tidak menghendaki kakak saya masuk menyaksikan pelaksanaan otopsi. Kejadian ini mengundang perhatian banyak orang,” jelasnya.
“Kasat Reskrim tidak izinkan kakak saya masuk dengan alasan khawatir muncul opini-opini lagi. Setelah saya dan kakak berkeras menyampaikan bahwa kehadiran kakak saya masuk menyaksikan jalan otopsi itu hanya untuk mengetahui dan menjadi privasi keluarga saja, barulah Kasat Reskrim membawa kakak saya masuk ke dalam tenda tempat otopsi berlangsung. Itupun kakak saya tidak terlalu lama di dalam dan sudah keluar lagi serta tidak mengikuti sampai selesai,” papar James.
Sesudah tim dokter forensik melaksanakan otopsi dan meninggalkan tenda tempat otopsi, pihal keluarga lalu diminta bersiap-siap untuk masuk kedalam tenda otopsi guna mengganti dan mengenakan pakaian baru ke jenazah almarhum. Keluarga yang hendak masuk diharuskan menggunakan kaos tangan, mengenakan masker, dan beberapa petunjuk lainnya.
Setelah bersiap diri dan hendak masuk, keluarga almarhum masih disuruh menunggu komando dari dalam tenda. Saat itu dalam tenda masih ada Kasat Reskrim dan beberapa petugas inafis Polres Maros. Usai menunggu beberapa lama, setelah ada komando dari Kasat Reskrim akhirnya keluarga disuruh masuk.
“Saat masuk, kami keluarga terkejut karena mayat korban sudah rapih mengenakan pakaian baru. Padahal sejak awal sudah disampaikan bahwa kami keluarga yang akan menggantikan/mengenakan pakaian baru ke tubuh almarhum karena pakaian lama sudah kotor dan rusak digunting. Timbul tanda tanya, apakah pihak penyidik Polres Maros tidak inginkan kami keluarga melihat/mengetahui bagian-bagian tubuh almarhum yang dibedah oleh tim dokter forensik ?,” tukas anggota Penasehat PWI Sulsel itu.
Tandatanya dan kecurigaan keluarga semakin menguat ketika disampaikan bahwa hasil otopsi mayat di tenda di lokasi pekuburan ini selanjutnya akan dibawa ke laboratorium Unhas. Pertanyaannya, kan yang melakukan otopsi adalah Tim Dokter Forensik Dokpol Biddokes Polda Sulsel, tapi kenapa untuk pemeriksaan selanjutnya harus dibawa ke laboratorium Unhas ?
“Kami keluarga jelas jadi trauma mengingat faktanya sejak kematian Virendy, tidak ada tanggung jawab pihak Unhas dan terkesan lepas tangan serta terindikasi berupaya keras membungkam kasus ini agar bisa lepas dari jeratan hukum guna menjaga nama baik Unhas,” tegasnya.
Sewaktu hal ini ditanyakan oleh Viranda, kakak almarhum via WA ke Kanit Tipidum, kenapa harus dibawa ke laboratorium Unhas ? Kenapa tidak dibawa ke RS Bhayangkara atau laboratorium forensik milik Polri ? Apakah Polri atau RS Bhayangkara tidak punya laboratorium forensik ? Kemudian dijawab dengan beralasan bahwa Laboratorium Unhas lebih lengkap peralatannya. Tapi kata Kanit bahwa dia akan menanyakan kembali ke pihak Biddokes Polda Sulsel.
Tak lama kemudian Kanit memberikan jawaban lagi via WA ke Viranda bahwa dari keterangan Kasat Reskrim bahwa hasil otopsi di lokasi kuburan bukan dibawa ke Laboratorium Unhas, tetapi akan dibawa ke sebuah laboratorium swasta berlokasi di bilangan ruko di Jln G.Bulusaraung. Menurut Kasat Reskrim bahwa dokter di laboratorium tersebut adalah alumni Unhas. Laboratorium itu setelah pihak keluarga telusuri ternyata hanya berpredikat bintang 3.
“Semua kejanggalan-kejanggalan itu jujur saja semakin membuat pihak keluarga semakin merasa yakin kebenaran dugaan adanya upaya pihak Unhas dengan berkolaborasi sejumlah pihak, untuk berusaha keras bagaimana menutupi, membungkam kasus ini, dan melindungi oknum-oknum pihak Mapala FT Unhas dari jeratan hukum,” pungkas James yang didampingi Direktur LKBH Makassar, Muhammad Sirul Haq, SH. (ramsy)