Kembali Ketua Kesatupadu, Saut mengungkapkan, sudah tiga tahun pihaknya berjuang mencari keadilan, diantaranya bersurat dengan kementerian terkait bahkan presiden, namun hingga saat ini belum ada titik terang kendati pihak KSP (Kantor Staff Kepresidenan) sudah mengunjungi wilayah tersebut namun belum ada kelanjutan terkait permintaan Kesatupadu yang meminta revisi dan pembatalan SK yang dimaksudkan.
“Sudah 3 tahun kami berjuang kesana kemari, kami juga sudah bersurat dan meminta bertemu dengan Menteri dan Presiden untuk membahas persoalan status tanah tersebut namun sampai saat ini belum juga ada titik terang,” pungkasnya.
Jalan Panjang Perjuangan
– Nenek moyang/leluhur Masyarakat Desa Parsingguran II sejak tahun 1.750-an atau kira-kira 12 generasi telah berdomisili dan mengusahai lahan wilayah Desa Parsingguran II untuk pertanian, perkebunan, dan peternakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
– Pada tahun 1963, Pemerintah Cq. Dinas Kehutanan telah meminta lahan kepada masyarakat Marbun Habinsaran yang terdiri atas masyarakat Desa Pollung, Siriaria, Parsingguran I dan Parsingguran II agar dapat memberikan sebagian lahannya kepada Pemerintah Cq. Dinas Kehutanan di Ramba Nalungunan seluas ± 2.500 Ha untuk dilakukan reboisasi yaitu penanaman pohon pinus yang bertujuan untuk menjaga kestabilan aliran Sungai Sihatunggal, sehingga tidak banjir pada waktu musim hujan dan tidak kering pada waktu musim kemarau. Lahan tersebut diserahkan oleh Tokoh-tokoh Masyarakat Marbun Habinsaran termasuk di dalamnya beberapa tokoh masyarakat Parsingguran II sesuai Surat Perjanjian 15 Oktober 1963.
– Pada tahun 2014, Menteri Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan No. SK.579/Menhut-II/2014 dimana dalam SK tersebut wilayah Desa Parsingguran II ditunjuk menjadi Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Dengan ditunjuknya wilayah Desa Parsingguran II menjadi kawasan hutan, maka pemerintah dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengabaikan Surat Perjanjian 15 Oktober 1963, dimana pemerintah secara sepihak telah “mencaplok”/mengambil tanah masyarakat Parsingguran II di luar Surat Perjanjian 15 Oktober 1963 dan dijadikan kawasan hutan. Pemerintah juga telah mengabaikan sejarah masyarakat Parsingguran II yang sudah berdomisili disana dan telah menguasai dan mengusahai lahan tersebut secara turun temurun sejak tahun 1.750-an atau telah 12 generasi hingga sekarang.
– Sehubungan dengan hal tersebut, Kesatupadu telah mengajukan permohonan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dengan surat No. 036/ KESATUPADU/XI/2021 tanggal 24 November 2021, supaya tanah leluhur masyarakat Desa Parsingguran II dikeluarkan/dilepaskan dari Kawasan Hutan, dan dikembalikan kepada masyarakat Parsingguran II sebagai pewarisnya.
– Pemerintah telah menanggapi surat permohonan Kesatupadu yaitu :
1. Pada tanggal 4 Maret 2022 Kesatupadu sudah Audiensi dengan Kantor Staf Presiden.
2. Pada tanggal 21 April 2022, Tim Terpadu Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara sudah melakukan Identifikasi dan Verifikasi ke wilayah Desa Parsingguran II.
3. Pada tanggal 12 Juli 2022, Kantor Staf Presiden (KSP) telah mengirimkan suratnya No. B.107 KSP/ D.2/ 07/ 2022 kepada a.l Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Bupati Humbang Hasundutan (lampiran 1).
4. Pada tanggal 1 September 2022, Tim Kantor Staf Presiden (KSP) telah melakukan peninjauan ke lapangan untuk mengetahui kebenaran Laporan Permohonan Kesatupadu kepada Bapak Presiden Republik Indonesia. Namun sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya.
5. Pada tanggal 26 Desember 2022, Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan telah menerbitkan beberapa Sertifikat Redistribusi Tanah (Hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara) bagi 39 bidang tanah di Desa Parsingguran II dan sekaligus dicanangkan sebagai Kampung Reforma Agraria. (*)