“Sebenarnya lorong ini dibuka tahun 1995 dan ketika itu belum banyak orang kenal. Tidak seperti seperti sekarang, orang-orang semua sudah tahu,” ungkapnya.
Dikatakan lanjut, di Tahun 2015, pihaknya dipercaya oleh Peruri dan Bank Indonesia untuk menjadi konsultan bagi tim desain nominal uang sepuluh ribu rupiah, dengan gambar penari.
“Prosesnya panjang, hingga 2 tahun dan kita diuji oleh tiga Prof pada saat itu, salah satunya almarhum Prof. Endang dan beberapa ahli saat itu,” kenang Andi Redo sapaan akrabnya.
Selain itu sambung Andi Redo, di lorong ini juga memiliki banyak potensi seperti berkebun serta kuliner. Dan salah satu kuliner khasnya yaitu kue surabi. Jadi lorong ini sebenarnya sudah menjadi wajah dari Makassar.
“Almarhum Mama dulu (mendiang Andi Ummu Tunru) selalu bilang kenapa saya pilih di sini karena lokasi ini di tengah kota dan suasananya masih suasana kampung atau lebih tepatnya ‘Pangadakan’ masih terjaga. Apalagi disini juga ada makam dari Karaeng Sinri Jala,” kenang Andi Redo seraya menambahkan semoga pelaksanaan Kongres Kebudayaan Sulswesi Selatan 2023, terlaksana dengan baik. Selamat bekerja panitia Kongres Sulawesi Selatan.
Usai sambutan dari Andi Muhammad Redo Basri yang kedua orang tuanya dikenal sang maestro. Ibunya bernama Andi Ummu Tunru (maestro tari) dan ayahnya Basri B. Sila (maestro gendang/musik), mendapat aplaus di siang menjelang sore. (bersambung/rk)