Saat ditanya oleh media ini terkait adanya upaya-upaya penutupan paksa rumah-rumah ibadah dari segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, Dengan mimik wajah serius, Hesky menuturkan, ini tentu sudah masuk dalam tindakan Persekusi dan sangat intoleran.
“Saya melihat upaya seperti itu ada, bahkan yang sudah ada Izin Mendirikan Bangunan alias IMBnya pun bisa dipermasalahkan, karena pertimbangan sosial dan politik sehingga bisa dianulir izinnya kembali,” tukas Hesky A Wurarah.
Tambahnya, nah kita berharap dari dialog kebangsaan ini yaitu negara nilai universalnya itu sudah sangat jelas dan normatif. Tindakan upaya penutupan paksa rumah-rumah ibadah masih ada celah dan kekosongan hukum.
“Jadi, negara kita ini mengatur yang bersifat konstitusional, pasal 28 dan 29 yang berbunyi, negara menjamin kebebasan beragama, menjalankan ibadahnya menurut keyakinannya. Namun hal tersebut hanya bersifat nilai yang dicantumkan dalam konstitusi, tetapi kan kita belum ada undang-undang kebebasan beragama atau pun undang-undang toleransi beragama,” sebutnya serius.
Harap Hesky A Wurarah, semoga kedepannya akan dibentuk Panitia Khusus (Pansus) terkait hal tersebut, supaya memberikan jaminan penuh terhadap kebebasan dalam beragama itu sendiri dan toleransi beragama itu sendiri.
Ini merupakan konsekuensi dari Surat Keputusan Bersama 3 (tiga) Menteri (SKB) yang mengatur tentang persyaratan mendirikan rumah ibadah, menurutnya itulah yang memicu lahirnya bentuk kebijakan yang bersifat diskriminatif, lalu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok intoleran itu.
Hesky A Wurarah yang juga seorang caleg dapil 5 DPRD Kota Makassar berasal dari PSI kembali mengutarakan, alasan konstitusional UUD 1945 pasal 28 e ayat 1, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya.
Alasan normatifnya, sudah diatur dalam UU hak asasi manusia, juga diatur dalam pasal 22 ayat 1, pasal No.39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia menegaskan, setiap orang mempunyai hak bebas memilih agamanya masing-masing dan beribadah menurut ajaran agama dan kepercayaannya itu.
“Terkait kekosongan hukum, memang belum ada aturan sangsi pidana terhadap pelaku intoleran itu,” sahut Hesky A Wurarah.
Pemuda yang murah senyum itu pun menyarankan kepada pemerintah pusat maupun kota Makassar, untuk memikirkan hal ini, jika dilihat pasal 22 ayat 2 itu No.39 tahun 1999 berbunyi negara menjamin kebebasan beragama.
Sedangkan pasal 71 UU no 39 tahun 1999 menegaskan, pemerintah harus melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia seperti yang di atur dalam UU tersebut. “Di sinimi pemerintahan pusat dan daerah. SKB 3 (tiga) menteri itu kalau menurut pandangan saya sebagai praktisi hukum, itu masuk ranah basicly untuk kebijakan, tetapi untuk Pemda harus ada political will untuk melahirkan produk hukum dalam bentuk izin melakukan ibadah,” pungkas Ketua Aku Muda Jaga Kota Hesky Andhika Wurarah SH. (Hdr)