Meninggalkan Pelabuhan Bima di kegelapan malam. Rupanya ini tanda perahu Masyalihul Ahyar (artinya, pria religius yang memelihara tujuan) yang saya tumpangi mulai membelah laut – yang kemudian ternyata menghabiskan waktu tujuh hari tujuh malam – ke tujuan, Ujungpandang. Di atas Masyalihul Ahyar saya dan rekan Mchsinah Abubakar (almarhumah) – teman dari Parado – termasuk orang baru pertama kali menumpang ’rumah’ bergerak dan berlayar ini. Orang baru dan belum pernah memiliki pengalaman menumpang armada layar lambang kebanggaan maritim nenek moyang orang Bugis Makassar tersebut.
Dermaga pun kian jauh ditelan gelapnya malam. Kelap-kelip lampu perahu yang sandar dan menunggu keberangkatan kian mengecil. Apalagi lampu pijar di bagian luar gedung pelabuhan satu-satunya sudah lenyap dari pandangan. Semua cahaya menghilang ditelan malam, berganti dengan sejuta bintang.
’’Tak ada lagi yang dapat saya lihat. Kedua orangtua mungkin sudah kembali ke kota berbareng dengan mulainya hari merambati malam,’’ hati saya berbisik sebelum memutuskan melanjutkan tidur di emperan lambo dengan tujuh layar tersebut.
Pagi hari, 9 November 1971, saya terbangun, karena mata ini tersapu silau mentari pagi yang merekah dan menerpa buritan perahu dari sisi kanan. Di depan mata ’terhadang’ oleh semua pemandangan yang asing. Daratan, laut, gunung, dan bukit semua menjadi wilayah yang tak pernah terkenali. Dunia apa dan di mana gerangannya ini. Saya berbicara sendiri di dalam hati. Tidak ada jawaban di dalam diri. Pada penumpang lain pun teralamatkan tanya yang tak terucap urung disampaikan.
Tidak lama, laut mati. Mirip cermin. Lambo terombang-ambing digiring arus mati gelombang. Laut mati angin. Hari beranjak siang. Di kejauhan tampak perahu lain yang juga senasib dengan Masyalihul Ahyar, lambo yang saya tumpangi. Oleng kiri kanan oleh ketiadaan angin.
’’Ini musim pancaroba. Angin datang dari segala penjuru tanpa terduga,’’ kata salah seorang awak perahu yang bertubuh subur.
Menjelang siang, angin timur bertiup. Mendorong lambo menyisir pantai utara Pulau Sumbawa hingga sore hari. Makin sore, gelombang dan angin kian kencang. Awak perahu serentak memanjati tiang layar. Mengubah arah layar menghadang angin. Angin barat bertiup kencang. Seolah mengambil alih arah angin timur sebelumnya. Perahu melawan arah angin. Perahu mau ke arah barat untuk mengambil ancang-ancang ’’menembak’’ Ujungpandang. Jika ’’menembak’’ tepat keluar dari Asa Kota Bima, perahu bisa terdampar ke Kendari atau Selayar. Oh my God !.
Mengambil titik start ternyata tidak mudah di tengah angin barat yang bertiup kencang. Perahu memilih jalan menggergaji. Maju miring kiri-kanan setiap saat. Risikonya, anak buah perahu bekerja ekstrakeras memanjati tiang, mengubah arah layar, terutama layar tengah sesegera mungkin. Menyesuaikannya dengan arah angin. Pantas awak perahu harus sosok yang kuat bekerja dan cekatan. Jika tidak, bisa-bisa dia terlempar ke laut.
Hari sudah sore ketika mata saya terantuk pada sebuah bukit tinggi hitam. Tinggi, meski cukup jauh. Pada seorang awak perahu, saya memberanikan diri bertanya. “Itu, apa ?,” kata saya pendek.
Dia pun menjawab pendek. ’’Itu Gunung Tambora’’. Wow….waktu SMP saya hafal betul nama gunung itu. Apalagi, gunung tersebut berada di daerah kabupaten sendiri. Pada pelajaran Ilmu Bumi (kini Geografi), para murid di sekolah dasar di kampung wajib menghafal seluruh nama gunung berapi, ibu kota provinsi, nama lapangan terbang, dan tempat-tempat penting lainnya di Indonesia dan dunia. Saya pun menghafal dan mengingatnya sampai kini.
‘’Oh, inilah Tambora, gunung yang aku pelajari di buku itu. Juga, pernah meletus dengan memakan banyak korban jiwa itu,’’ hati saya bergumam sembari tetap menatap gunung meskipun entah berapa puluh kilometer jauhnya dari perahu yang ditumpangi.
Perahu lambo Bugis terus melaju di sore hari itu. Menyibak gelombang musim pancaroba minggu pertama November 1971. Pelayaran gergaji yang kemudian membawa alam pikir saya jauh mundur beberapa tahun sebelumnya. Mengingat-ingat kembali masa pendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, tatkala pertama mengetahui musibah Gunung Tambora.
Ternyata, Masyalihul Ahyar mengantar saya ke tujuan dengan menghabiskan waktu tujuh hari tujuh malam. Pukul 12.00 Wita, 15 November 1971, saya turun dari perahu lambo di depan Pulau Kayangan untuk menghindari razia Syahbandar. Baru saja duduk di atas becak di depan Kantor Polresta Pelabuhan sekarang, hujan lebat mengguyur kota. Seolah menyambut kedatangan saya dengan cukup bersahabat. (***)