“Manusia yang paling primitif tidak mengenal Tuhannya. Di dalam Latoa (buku karya Mattulada yang bersumber dari disertasinya), Mattulada tidak membahas hubungan antara manusia dengan Tuhannya,” ujar Darwis dalam acara yang juga dihadiri para guru besar FIB Unhas, para dosen, Pengurus IKA FIB Unhas diwakili Sekretaris Umum, dan mahasiswa (S-1, S-2, dan S-3) FIB Unhas.
Pertanyaan kedua, hubungan antarmanusia. Hubungan ini dapat berupa apa yang ada dalam konsep Thomas Hobbes, salah seorang filsuf Inggris yang terkenal dengan bukunya yang terbit pada tahun 1651 berjudul “Leviathan”.
Di dalam buku itu ia menguraikan bentuk teori kontrak sosial ang berpengaruh. Salah satu pandangan Hobbes yang sangat ekstrem dan dikutip Darwis adalah ‘homo homini lupus’ (manusia adalah serigala bagi sesamanya. Situasi ini mendorong terjadinya ‘perang semua melawan semua’ (bellumonium contra omnes).
Pertanyaan ketiga adalah hubungan antaramanusia dengan lingkungan (ekologi) yang juga banyak dibahas dalam karya-karya Mattulada.
M.Nawir mengajukan sebuah pertanyaan, Mattulada kita mau menjadikannya sebagai apa? Apakah dia sebagai seorang akademisi. Ada satu hal yang kontekstual yang mungkin kita dapatkan dari pemikiran Mattulada dengan apa yang dilaksanakan sekarang, yakni ‘merdeka belajar’.
“Pendidikan merupakan pintu masuk Mattulada dalam menjalani kariernya dan itu merupakan etos kejuangannya sebagaimana yang kemudian banyak diikuti oleh para aktivis mahasiswa Fakultas Sastra,” ujar pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini.
Menurut Nawir, gagasan dan pemikiran Mattulada mengembangkan paradigma manusia dengan manusia, belum sepenuhnya menyoal manusia dengan lingkungannya. Pola pemikirannya itu mengajak kita bagaimana belajar dengan prinsip transkultur, transdisiplin, dan transparan yang menjadi kebutuhan zaman.
Berkaitan dengan otonomi yang digagas Mattulada bersama para pejuang lainnya ketika mendirikan gerakan Pembangunan Rakyat Semesta (Permesta) — yang menghendaki porsi pendapatan negara 70 persen ke daerah dan 30 persen pusat – menurut Nawir awalnya digagas mulai dari desa, bukan dari provinsi dan kabupaten. Namun dalam kenyataannya, otonomi daerah yang merupakan salah satu produk era reformasi tersebut terhenti di kabupaten dengan keluarnya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Kemudian lahirnya UU tentang Desa (UU No.6 tahun 2014) yang menjadi rujukan tentang desa dalam pandangan Nawir, desa bisa menjadi pusat pemerintahan yang berbahaya, karena dikhawatirkan akan menjadi lokus pertarungan kapital dan akan memengaruhi rumah sebagai tempat mula manusia belajar.
Alwy Rachman salah seorang budayawan yang beberapa tahun ini lebih banyak ‘bersemedi’ di kediamannya mengatakan, Mattulada telah mengajarkan kepada kita bahwa pemimpin bisa berhasil secara paripurna jika disertai dengan moral. Mattulada memperkenalkan nilai Bugis Makassar. Namun nilai-nilai itu berpasangan secara resiprokal.
“Terakhir saya ingin mengatakan bahwa Mattulada merupakan generasi emas Universitas Hasanuddin,” kunci Alwy Rachman.
Prof.Dr.A.B. Takko, M.Hum menilai, Mattulada memiliki kebanggaan dengan pengalamannya yang luar biasa, Sedangkan Dr.Suryadi Mappangara mengajak agar kita menemukan pemikiran-pemikiran Mattulada yang dapat diaktualisasikan di kekinian. Suryadi juga menyebutkan, Mattulada merupakan mahasiswa dan sarjana pertama Fakultas Sastra Unhas.
“Barangkali kita juga perlu bedah ada pikiran-pikiran yang menarik dari Mattulada yang menyatukan format Bugis-Makassar dalam “staat Bugis-Makassar,” kunci Suryadi Mappangara.
Penulis buku Mattulada, M.Dahlan Abubakar merespon catatan para pembedah buku dan masukan dari Takko dan Suryadi Mappangara mengatakan, ada satu prinsip dan filosofi Mattulada yang mengantarnya memutuskan memilih sebagai seorang guru (pendidik) daripada aparat keamanan (polisi/tentara), meskipun pada waktu itu pangkatnya sudah letnan.
“Di mata polisi, manusia berpotensi menjadi orang jahat, sementara di mata seorang guru manusia berpotensi menjadi orang baik,” ujar Dahlan mengutip isi bukunya yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas Jakarta (2023) menutup komentarnya. (MDA).