Almarhum Anis Kaba termasuk pengoleksi buku, termasuk buku seni rupa yang memuat lukisan koleksi Bung Karno, Van Gogh, Pablo Picasson dan lain-lainnya. Buku sejarah dan kebudayaan mengisi ruang perpustakaan pribadinya di Jl. Kelinci, Nomor 6 B Makassar.
Dia termasuk pemenang lomba penulisan puisi ‘Crash Program’ Provinsi Sulawesi Selatan (1964) dan ‘Celebes Award’ bidang sastra dari Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan.
Karya-karyanya yang sudah terbit:” Nyanyian Alam” (Said Saggaf, 2000), Antologi puisi bersama Penyair Makassar (DKSS, 2000), Antologi puisi bersama ‘Pintu yang Bertemu’ (BKK, Kota Makassar, 2003), Surga yang Tak Seksi (DKK Makassar dan Dewan Pendidikan Makassar, 2004), dan “Aceh Dukaku-Sebuah Tanda Kabung’ (Gora Pustaka, 2005).
Banyak karya puisinya dimuat harian ‘Pedoman Rakyat’, harian ‘Fajar’, Galeri Puisi, dan Surat Kabar Kampus ‘Identitas’ Unhas.
Karyanya itu dipersembahkan untuk PT Pertani, instansi yang membuatnya sempat bertualang ke Kendari, Manado, dan Irian Jaya (Papua). Pekerjaannya yang menyentuh soal pertanian ini membuat tidak mengherankan rumahnya tampak asri, rimbun dengan pepohonan dan beragam bunga.
Suami Naisa M.Simamora ini juga aktif mengelola buku referensi sastra, sejarah, dan agama Islam yang langka hingga terbitan terbaru di perpustakaan pribadinya, ‘Usthask Kita’. Di ruang yang cukup lapang di perpustakaan pribadinya itu, Anis Kaba sering menerima tamu-tamunya yang bahkan dari mancanegara. Mereka ingin memanfaatkan koleksinya untuk berbagai tujuan.
Saya pun pernah menyambangi perpustakaan pribadinya belasan tahun silam saat memulai menulis buku “Qahar Mudzakkar Detik-Detik Terakhir” (Penerbit Buku Kompas, 2022). Lantaran tidak mungkin mencatat data yang diperlukan, dan menghindar meminjam koleksinya yang sangat berharga itu, saya pun meminta tolong difotokopikan saja. Tentu saja dengan menitipkan sejumlah uang biaya memfotokopi.
“Buku yang dipesan, sudah selesai difotokopi,” pesannya beberapa hari setelah saya pamit dari kediamannya.
Saya menyambut gembira dan langsung meluncur ke Jl. Kelinci, kediamannya. Tiga buku yang tidak terlalu tebal, sesuai pesanannya saya, sudah tersedia. Dibungkusnya dengan sampul warna hijau. Saya tidak berusaha bertanya mengapa memilih warna itu. Tebakan saya mungkin sesuai dengan keasrian pepohonan dan bunga yang menghiasi kediamannya. Mungkin juga.
Saya memang tidak begitu sering bertemu dengan Pak Anis Kaba. Namun, saat ada kegiatan yang berkaitan dengan literasi atau diskusi kesenian, dia dipastikan hadir jika memiliki waktu luang dan di kesempatan inilah saya kerap bertemu. Penampilannya memang khas seorang seniman. Mengenakan topi lebar disertai tas kecil yang selalu disandangnya.
Berbicara dengan dia, seseorang diajak bertualang ke dunia gagasanya dengan menawarkan wujud simpati dan empati. Tutur katanya sangat terpilih dalam komunikasi verbal yang sejuk membuat lawan bicaranya betah.
Dalam penggalan “Oh, Waktu’, sajak yang ditulisnya Mei 1971, Anis Kaba menggores:
“Oh. Waktu
yang kukejar hingga kini
pada segala harap
penantian tiada dari cinta
betapa aku risau dan sendu di hati
aku mengarap segala tiba
pada titik tujuan…”.
Tampaknya, 3 Januari 2024, dia memenuhi ‘titik tujuan’ dari waktu yang digoresnya dalam pena 53 tahun silam itu. Selamat jalan senior, namamu tetap terkenang hingga pada “titik akhir tujuan” kami masing-masing yang ditinggalkan. (M.Dahlan Abubakar).