“Pertanyaannya, apakah hal itu bisa terjadi di Indonesia?,” Hamdan bertanya.
Hamdan menyebutkan, dalam pengalaman Indonesia, perkara-perkara di MK berkaitan dengan sengketa atau perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang ribuan banyaknya, ada banyak putusan MK yang membatalkan hasil pemilukada. Alasan-alasannya sama, seperti di pengadilan Kenya. Ada pelanggaran-pelanggaran yang sedemikian rupa, pelanggaran-pelanggaran prinsip-prinsip konstitusi, bahkan terjadi pelanggaran perundang-undangan yang secara terstruktur, sistematik, dan masif (TSM).
Lalu, apakah pelanggaran TSM itu dapat dibatalkan. Lalu putusan-putusan di MK mengenai hasil pemilukada Jawa Timur, dan beberapa yang lain, dirumuskan bahwa ditemukan pelanggaran TSM. Terstruktur adalah pelanggaran yang dilakukan oleh struktur secara terstruktur dari atas sampai ke bawah. Katakanlah dari kepala daerah, ke kepala-kepala dinas, penyelenggara pemilu. Atau secara masif, tidak menyelesaikan laporan pelanggaran pemilu pada seluruh daerah pemilihan atau suatu daerah pemilihan.
Hal yang kedua, sistematis, yakni pelanggaran itu didesain sedemikian rupa dalam pelaksanaan pemilu karena tidak ada cara lain kecuali dengan pelanggaran-pelanggaran yang sedemikian rupa. Kemudian, masif, adalah pelanggaran yang dilakukan di mana-mana dan terbukti. Jika ditemukan pelanggaran-pelanggaran TSM, maka pengadilan dapat memutuskan membatalkan hasil pemilu.
Di Indonesia, keputusan mengenai pemiu ini, sebenarnya ada dua lembaga, yakni lembaga yang dapat memutuskan pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kalau Bawaslu menemukan dari laporan pengadu bahwa terjadi pelanggaran terstruktur yang memanfaatkan instansi dari atas ke bawah secara struktur atau infrastuktur penyelenggara pemilu menjadi lumpuh, tidak bisa melakukan apa-apa atau terbukti tidak menegakkan keadilan oleh karena masif dan karena persoalan kepentingan politik, maka ditemukan pelanggaran terstruktur. Kalau itu dilaksanakan secara masif dan sistematis, maka cukuplah beralasan untuk membatalkan hasil pemilu oleh Bawaslu.
Tetapi, Bawaslu, kata Hamdan, memiliki keterbatasan waktu yang luar biasa. Pertama, dia hanya bisa mengajukan pelanggaran itu pada saat sebelum pencoblosan suara. Dan, dia memutuskan apakah pelanggaran itu terjadi dalam waktu 14 hari. Oleh karena waktu yang sangat singkat, yang tidak mungkin dilakukan pembuktian terhadap pelanggaran TSM, maka pada umumnya pintu terakhir adalah membawa masalah itu ke MK.
UU merumuskan, MK diberikan kewenangan memutuskan hasil penghitungan suara yang memengaruhi perolehan suara. Kalau hasil penghitungan suara semata-mata, maka MK hanya menjadi ‘pengadilan kalkulator’, bukan berkaitan dengan kecurangan dalam penghitungan suara. Misalnya pada satu tempat pemungutan suara (TPS) satu kabupaten diubah jumlah suaranya. Dalam praktiknya, selama ini di MK jika hanya memutuskan hasil penghitungan suara, maka MK hanyalah ‘pengadilan kalkulator’.
“Oleh sebab itu, MK dalam rangka sebagai “guardian of contitution and democracy”, harus bisa keluar dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi, yakni mengawal konstitusi dan demokrasi,:” kata Hamdan.
Oleh sebab itu, MK sesuai dengan kewenangannya yang diberikan UU, dapat juga mengadili pelanggaran pemilu yang TSM, yang apabila pelanggaran seperti itu tidak dapat diselesaikan dalam proses, baik oleh Panwas dan Bawaslu, maupun Penegak Hukum Terpadu (Gakumdu), MK boleh masuk ke dalam ranah yang lebih luas, yakni memutuskan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat TSM.
“Sehingga dengan demikian, seperti juga di Pengadilan Kenya, dan juga di Malawi, maka hasil pemilu batal dan dinyatakan invalid serta dilakukan pemilu ulang,” tegas Hamdan, kemudian mengingatkan kepada Presiden dan seluruh penyelenggara negara, pejabat, dan mereka yang paling berkuasa, agar menjaga pemilu kita ini berlangsung demokratis, jujur dan adil supaya tidak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan demokrasi kita. (mda).