Oleh : Musdah Mulia
Dibandingkan kelompok-kelompok prodemokrasi, terlihat mereka lebih siap menggunakan era demokrasi. Ironisnya, mereka justru mengekspresikan pandangan dan gagasan politik mereka yang antidemokrasi melalui berbagai instrumen demokrasi, seperti pemilu, pilkada, parlemen, ormas, dan partai politik. Dulu di masa Orde Baru mereka terpaksa tiarap karena sikap otoriter penguasa Orde Baru yang tak sedikit pun memberi angin kepada mereka. Sekarang, atas nama demokrasi dan HAM, mereka menuntut ruang terbuka untuk menyampaikan ide-ide mereka yang anti-demokrasi dan HAM, kontradiktif dengan Pancasila dan prinsip bhinneka tunggal ika, bahkan konstitusi Republik Indonesia.
Sungguh aneh!
Merekalah yang disebut penumpang gelap demokrasi dan mencederai wajah demokrasi Indonesia. Tidak heran jika upaya-upaya membangun demokrasi yang substantif, seperti gagasan pembaruan hukum Islam menuju bentuk yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, mengalami hambatan yang luar biasa. Kelompok-kelompok inilah yang kerap menyerang habis-habisan dan menuding saya sebagai antek-antek Barat yang ingin menghancurkan Islam.
Tudingan yang menjengkelkan, sekaligus juga menggelikan!
Saya lahir dan tumbuh dari keluarga muslim yang sangat ketat. Bahkan ayah saya, Mustamin Abdul Fattah, adalah salah seorang pimpinan Negara Islam DI TII di Sulawesi Selatan, orang kepercayaan Kahar Muzakar! Jadi, gagasan tentang negara Islam dan formalisasi syariat Islam bagi saya adalah sangat utopis.
Sementara, kakek saya dari pihak ayah adalah seorang mursyid ternama dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Sejak kecil, saya menjalani pendidikan pesantren yang hampir sepenuhnya mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Bahkan, ketika hendak kuliah di IAIN (kini bernama UIN), kakek saya dari pihak ibu yang juga dikenal sebagai ulama membolehkan hanya jika saya mengambil jurusan Bahasa Arab, karena baginya itu adalah ‘bahasa surga” dan agar saya lebih mendalami studi keislaman. Pendeknya, Islam adalah hidup saya!
Meski banyak yang tidak suka pada upaya-upaya pembaruan dan reformasi pemikiran yang saya kembangkan, namun saya juga merasakan dukungan berlimpah dari berbagai kalangan. Itulah mengapa saya tetap tegar dan bersemangat melanjutkan upaya reformasi ini. Kyai Abdurahman Wahid, Presiden Republik Indonesia ke-4, semasa hidupnya pernah menghibur saya.
“Musdah tenang saja, pemberitaan media seperti itu hanya akan jadi promosi gratis untuk kamu“ ujar beliau.
Ternyata Gus Dur benar. Saya tak pernah menyangka, berbagai hoaks, fitnah dan pemberitaan buruk yang bertubi-tubi itu, justru membawa saya kebanjiran undangan pergi ke berbagai acara menarik di negeri-negeri yang jauh. Itulah blessing in disguise.