HARTONO Tasir Irwanto, S.H., M.H. membagi dua pembahasannya mengenai buku ini. Secara format dan secara substansi. Secara format, mungkin hanya beberapa tambahan, misalnya pada bab I ada yang luput dari penyuntingan, misalnya masih ada kata ‘pidato’ yang sebenarnya bisa ditekstualisasi menjadi “tulisan”.
Hartono mengutip pendapat salah seorang ahli mengatakan bahwa demokrasi untuk kaum yang realis. Demokrasi kaum realis itu adalah kita tidak bisa berharap banyak terhadap mekanisme demokrasi kita saat ini jika sumber daya manusia kita masih rendah. Sehingga, jangan heran kalau penghitungan seperti yang disinggung Endang Sari sebelumnya, memiliki implikasi seperti itu (curang).
Dalam “the neo trias politica” karena trias politica itu sendiri sudah “old” karena ditulis pada tahun 1880-an. Untuk mengoreksi John Locke dan Montesquei, Anthony Giddens menyatukan saja trias politica (yang membagi tiga kekuasaan) itu dengan organisasi pemerintahan sebagai poros kekuasaan yang pertama. Poros kekuasaan yang kedua adalah pasar (market), bagaimana pasar itu dikendalikan oleh beberapa orang saja. Dengan ‘gentel’-nya salah satu tim dari pasangan calon tertentu mengatakan bahwa sepertiga perekonomian Indonesia dikuasai oleh mereka yang mendukung pasang calon tertentu itu. Poros kekuasaan yang ketiga adalah “civil society”.
“Momen bagi kita sebagai poros kekuasaan ketiga untuk membedah apa yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan kita saat ini, khususnya mengenai hak angket,” kata Hartono Tasir Irwanto.
Poin kedua adalah berkaitan dengan jenis-jenis pengawasan. Menurut Hartono Tasir Irwanto, di dalam buku Faisal Abdullah ini dibagi ke dalam lima jenis pengawasan. Yang pertama adalah pengawasan politik, yakni seperti halnya dengan hak angket yang digagas saat ini. Bagaimana eksekutif itu menjadi terimbang terhadap kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukannya.
Kedua, adalah pengawasan media. Media harus mengawasi jalannya pemerintahan.
Tetapi jika kita membaca salah satu disertasi yang dibukukan seorang penulis, yang menyebutkan bahwa media di Indonesia itu dikuasai oleh delapan taipan korporasi media. Bagaimana satu media itu justru berkoordinasi dengan partai-partai tertentu.
Ketiga adalah pengawasan hukum yang lebih jelas pada implikasi pemakzulan.
Keempat pengawasan oleh “civil society” yang dilakukan saat ini dan pengawasan elektoral.