Keesokan hari, masih pagi benar, ajudan melapor.
“Pak Camat datang melapor, Pak,” ajudan memberi tahu bahwa Camat yang disambangi kemarin hendak bertemu.
Saat bertemu Radi, Camat itu menunduk lesu. Raut mukanya memerah, menampakkan penyesalan yang mendalam.
“Saya mengaku berdosa, Pak! Saya tidak pernah menyangka kalau Pak Bupati akan langsung ke lokasi. Soalnya, harus berjalan kaki sekitar tiga kilometer,” ujarnya memelas.
“Saya berjanji, Pak. Tidak akan berbuat seperti itu lagi,” dia menyambung dengan mata berkaca-kaca.
Radi tidak memarahinya karena dia sudah memarahi dirinya sendiri. Beberapa tahun kemudian, Camat itu bisa membuktikan, dirinya bisa lebih baik. Dia mampu tampil sebagai seorang camat teladan di Kabupaten Wajo.
“Biarkanlah seseorang membuktikan sendiri bahwa dia orang yang dapat dipercaya atau tidak dapat dipercaya,” begitu Pak Amir selalu berpesan kepada murid ideolismenya.
Nah, yang ini kisah Asmawi Syam. (hlm 137).
Pada tahun 1988, Asmawi mendapat promosi jabatan menjadi Pemimpin Cabang BRI di Singaparna Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kebiasaannya, sebagai pemimpin cabang, dia sering turun ke lapangan, mengecek langsung situasi di kantor-kantor di bawah kewenangannya.
Suatu malam dia ingin mengecek kesiapan pengamanan di kantor unit BRI yang ada di Singaparna. Dia mengajak Unit Desa Offiser (UDO), M.Yazid, sekaligus menjadi ‘driver’ mobil.
Lewat tengah malam, Asmawi menuju ke salah satu kantor unit. Sepi. Tidak terlihat ada penjaga atau satuan pengamanan (satpam). Asmawi membongkar pintu kantor unit itu, lalu mengambil berkas-berkas yang diletakkan di atas meja.
Bahkan ada uang yang diletakkan di laci tanpa dikunci. Termasuk juga beberapa alat elektronik. Asmawi boyong semua.
Dia pun beralih ke kantor unit ke-2,ke-3, dan ke-3. Semua sepi. Tidak ada satpam berjaga. Malam itu Asnawi memboyong bertumpuk-tumpuk berkas. Ada pula uang dan alat elektronik, termasuk beberapa komputer dari empat kantor unit BRI yang ‘dibobol’ itu. Malah pada salah satu ruangan kepala unit, Asmawi menemukan ada botol minuman beralkohol yang disimpan di laci meja kerjanya. Asmawi sangat geram benar malam itu.
Pagi hari, semua kepala unit Asmawi panggil untuk rapat. Dia meminta mereka melaporkan perkembangan kinerja di kantor unit masing-masing. Semua laporannya bagus, Tidak ada masalah berarti yang dihadapi kantor unit.
Sampai rapat mau selesai, tak ada satu pun yang melaporkan kehilangan berkas, uang, dan alat-alat elektronik di kantornya.
“Apakah benar tidak ada masalah?,” Asmawi kemudian bertanya.
Akhirnya, salah seorang kepala kantor unit buka suara.
“Tadi malam, kantor saya dibobol perampok. Kantor diobrak-abrik, berkas-berkas diambil, uang disikat, dan alat-alat elektronik juga raib,” dia bercerita.
“Kok bisa dirampok. Bukankah ada satpamnya?,” Asmawi menyela dengan bertanya.
“Ada satpamnya, Pak, tetapi satpamnya disergap, mulutnya disumpal, tangannya diikat,” katanya membuat Asmawi rasanya ingin tertawa geli sekaligus ingin marah mendengar bualan stafnya itu.
Begitu satu orang mengaku, kepala kantor unit lainnya pun ikut-ikutan mengaku.
“Sepertinya gerombolan perampoknya banyak, Pak karena aksinya berbarengan langsung pada empat kantor unit,” kata mereka.
“Saya yang semalam ke kantor kalian. Tidak ada satpam yang berjaga. Saya masuk ke kantor dan mengambil barang-barang itu semua,” kata Asmawi setelah mendengar para kepala unit mengarang indah, membuat mereka kaget dan terdiam, antara takut dan malu.
Asmawi lalu meminta mereka untuk mengambil barangnya masing-masing di salah satu ruangan.
“Saya tidak mau lagi ada kantor unit yang tidak dijaga oleh satpam pada malam hari. Bayangkan, bagaimana jadinya jika yang membobol kantor adalah perampok benaran. Berapa banyak kerugian yang harus ditanggung,” dengan tegas Asmawi berkata.
Beberapa waktu berlalu, Asmawi secara diam-diam kembali melakukan patroli malam secara periodik ke kantor-kantor unit. Hasilnya, semuanya sudah dijaga oleh satpam yang selalu siaga. Kemajuan yang luar biasa.
Pelajaran dari kisah-kisah ini, sebagai ‘leader’, kita harus turun ke lapangan. Tidak bisa hanya mengandalkan dan percaya 100% pada laporan. Mesti ada ‘check and re-check’. Sebab, selalu terbuka adanya laporan ABS. Jika kondisi ini terus dibiarkan akan mengancam kinerja unit organisasi mapun perusahaan.
Ketika Asmawi berhasil menguji kantor-kantor unit BRI, para karyawan dan staf di sana jadi percaya bahwa sebagai pemimpin, Asmawi sungguh-sungguh mengawasi kerja mereka. Ini akan memotivasi mereka bekerja lebih baik lagi. Sebab, mereka tahu ada yang mengawasi”.
Kata kunci dari tiga peristiwa tersebut adalah perlunya supervisi yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Tidak boleh hanya mengandalkan laporan.
Tentu, kisah seperti ini masih banyak ditemukan di dalam buku yang sangat menginspirasi ini. (M.Dahlan Abubakar, bersambung)