Sebagai orang yang kaya pengalaman di lapangan, Hasyim Ado bukan tipe orang yang senang duduk di belakang meja. Dia tidak puas jika tidak turun sendiri ke lapangan, meliput sendiri. Begitulah dengan di Maluku Utara. Dia terjun langsung bersama anak buahnya ke Ternate, Halmahera, dan Tobelo meliput masalah kesalahpahaman antarkomunitas tersebut.
Ada pengalaman yang sulit Hasyim lupakan ketika bertugas di provinsi muda usia itu. Dia pernah ‘’diadili’’ oleh penguasa darurat sipil. Kejadiannya sekitar tahun 2001. Seorang perwira tinggi memprotes RRI lantaran menyiarkan langsung acara salat Jumat. Yang membuat petinggi militer itu kebakaran janggut adalah isi khutbah sang khatib. Dalam khutbahnya dia mengatakan, UU Darurat Sipil adalah produk kaum kafir, sehingga tidak perlu ditaati.
Lantaran siaran itu, RRI Ternate dianggap sebagai provokator. Perwira tinggi itu menginterogasi Hasyim selaku Kepala Stadion RRI Ternate. Dalam interogasi itu, Hasyim dihadapi POM AD, Polri, dan Kejaksaan.
‘’Siapa penanggungjawab siaran ini,’’ hardiknya.
‘’Pelaksanaan siaran saya yang bertanggungjawab. Tetapi, yang bertanggungjawab atas khutbah adalah khatibnya, sedangkan terhadap pelaksanaan salatnya adalah imam,’’ jawab Hasyim.
‘’Mengapa saudara tidak menyetop siaran tersebut,’’ tegas perwira tinggi itu lagi.
‘’Saya tidak mungkin menyetop khatib yang sedang membaca khutbah di mimbar. Jika itu saya lakukan, jelas akan sangat berbahaya bagi saya,’’ papar Hasyim Ado.
Gara-gara kasus ini, mobil OB van RRI Stasion Ternate disita aparat keamanan.
Ketika pejabat Gubernur Maluku Utara Muhyi Effendy, Hasyim pun pernah dapat pengalaman pahit. Sang jenderal dua bintang itu pernah membantingkan pistol di depan wartawan radio senior Indonesia itu. Apa pasal, sampai pistol dijadikan ancaman? Rupanya, kala itu RRI menyiarkan hasil wawancara dengan rakyat yang berunjuk rasa terhadap pabrik kayu milik salah satu konglomerat di Jakarta. RRI dianggap menghasut rakyat.
‘’Tetapi ini adalah fakta,’’ Hasyim menjelaskan.
‘’Saudara tidak mengerti UU Pokok Pers,’’ kata pejabat itu.
‘’Saya justru memberitakan fakta itu sesuai UU Pokok Pers,’’ Hasyim melawan.
‘’Saudara melanggar Kode Etik Jurnalistik,’’ sergah sang pejabat tidak mau kalah.
‘’Saya sudah pertimbangkan boleh tidaknya suatu fakta diberitakan sesuai Kode Etik Jurnalistik,’’ Hasyim kian menantang lagi.
Jengkel dengan penjelasan Hasyim yang terus menggebu-gebu dan tidak cacat yuridis, sang jenderal mengeluarkan pistol dan membantingnya di meja di dekat Hasyim.
‘’Saya diam saja,’’ ungkap Hasyim.
Ketika peristiwa ini terjadi, ada seorang wartawan RRI Ternate juga jadi saksi. Dia gemetaran ketika melihat situasi yang sangat menegangkan tersebut. Hasyim juga tidak menduga sebelumnya, kalau pertemuan itu berbuntut panas seperti itu. Sebab awalnya, usai suatu upacara, pejabat tersebut mengajak Hasyim singgah di kantornya. Di situlah dia mulai menanyakan masalah unjuk rasa tersebut. Tetapi ujung-ujungnya sang pejabat itu melunak.
‘’Lain kali hati-hati sedikit kalau memberitakan sesuatu,’’ sang pejabat memberi tahu.
Usai pertemuan yang menegang itu, sang reporter yang menyertai Hasyim dalam ‘insiden banting pistol’ balik bertanya.
‘’Mengapa bapak tenang sekali menghadapi kejadian tadi?’’.
‘’Ya, jelas, karena yang ada di depan saya adalah jenderal. Dia tidak mungkin menembak saya meski punya pistol. Makanya, saya berani ‘melawan’. Tetapi kalau saya berhadapan dengan tentara berpangkat kopral, tentu kisahnya bisa lain,’’ Hasyim Ado menjelaskan.
Bertugas di Ternate memang memberikan pengalaman yang sangat dominan bagi perjalanan karier Hasyim Ado sebagai orang radio. Di tengah berkecamuknya konflik antarkomunitas, media kadang berada dalam posisi terjepit. Ketika media mencoba independen, ada-ada saja pihak yang merasa kurang nyaman dan menuding pemberitaan media berat sebelah. Masalahnya, setiap pihak selalu melihat dari sisi kepentingannya masing-masing. Tidak jarang media dituding sebagai provokator dan selalu dicurigai. Media selalu dilihat dengan penuh kecurigaan. Tetapi bagi Hasyim, pengalaman seperti ini juga merupakan seni sebagai orang media. Bagaimana menyikapi dan menyiasati situasi, sehingga media tetap dapat melaksanakan tugasnya dengan lancar.
Pengalaman-pengalaman seperti itu, akui Hasyim, ternyata banyak juga gunanya di kemudian hari. Dalam berbagai diklat wartawan radio, dia sering diminta menjadi pemateri. Pengalaman-pengalamannya itu selalu menjadi santapan pendidikan yang menarik buat para wartawan radio pemula yang masih bening pengalaman.
Menurut Hasyim, wartawan sekarang lebih menikmati udara kebebasan, sehingga merasa benar-benar independen. Namun, mungkin juga pada masa lalu ada keasyikan sendiri di tengah ketatnya pengawasan dan barikade terhadap pers. Para wartawan selalu berusaha kreatif untuk menemukan trik-trik tersendiri agar bisa memberitakan sesuatu.
‘’Ini tantangannya lebih besar,’’ kata Hasyim.
Ayah lima anak (seorang anaknya ada di Amerika, satu di Maluku, satu pengacara di Makassar, satu wiraswasta di Bali, dan seorang lagi kuliah di Akademi Pariwisata Bandung kala wawancara berlangsung) ini tahun 2006 pensiun sebagai pegawai negeri sipil. Tetapi, Direktur Utama RRI Parni Hadi mengajak Hasyim Ado aktif membina para reporter muda dengan duduk di Dewan Redaksi Nasional RRI. Dengan jabatan itu, dia tercatat sebagai staf ahli. Tugas dan kegiatannya adalah menjadi instruktur dalam berbagai pendidikan dan latihan yang dilaksanakan RRI.di seluruh Indonesia.
Sebagai wartawan radio yang sudah malang melintang di berbagai daerah, Hasyim pernah bertugas di banyak tempat. Misalnya, Sulteng, Maluku Utara, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan sendiri. Di daerah-daerah itu pulalah dia memperoleh penghargaan atas karya dan baktinya sebagai pejabat dan wartawan radio.
Selaku wartawan bidang Hankam, dia pun pernah memperoleh penghargaan dari Kodam XIV Hasanuddin (berubah jadi Kodam VII Wirabuana dan kini Kodam XIV Hasanuddin) dan Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) III.
‘’Liputan kita pada saat itu lebih banyak dikendalikan institusi militer. Tidak ada kebebasan pers sama sekali,’’ kunci kakek tiga cucu ini (waktu itu), setengah jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Kini wartawan senior yang kaya pengalaman jurnalistik itu telah tiada. Selamat jalan senior…(*).