PEDOMAN RAKYAT, MAKASSAR.-Di tengah banyak berita mengenai kejahatan di jalan raya, ternyata masih ada juga anak muda yang berhati baik.
Kisahnya, Jumat (3/1/2025) siang saya ke kampus. Inilah perjalanan pertama saya, meninggalkan rumah pada tahun 2025. Sebenarnya, tidak ada yang terlalu penting diurus di kampus. Namun kerja-kerja menuntaskan buku 50 Tahun “Identitas” harus saya lakukan bersama Nur Ainun Afiah, ‘bestie’ penulis saya menggarap buku setebal – akan – mencapai 700 halaman tersebut sudah saya janji bertemu di rumah kecil “identitas”.
Sejak hadirnya lampu pengaturan lalu lintas di Jl. Perintis Kemerdekaan dengan jalan baru yang ke Jl Dr.Leimena, saya selalu melintas di jalan itu. Padahal, sebelumnya saya mengkritik habis dalam sebuah tulisan panjang perihal kehadiran lampu pengaturan lalu lintas ini setelah beberapa hari dipasangi lampu pengatur lalu lintas kian membuat macet arus kendaraan poros Jl. Perintis Kemerdekaan hingga pintu I Unhas dan sebaliknya.
Komentar salah seorang pengusaha yang beroperasi tidak jauh dari pertigaan lampu pengatur lalu lintas itu, juga mewarnai komentar pada tulisan saya tersebut.
Mungkin, ada proses belajar dari para pemakai jalan, situasinya berubah.
Pengendara sepeda motor yang kerap melawan arus sudah berkurang drastis, meskipun pada malam-malam hari, masih sering ditemukan pengendara yang bandel. Namun intinya, kehadiran lampu pengatur lalu lintas tersebut mulai menyadarkan pengendara untuk tertib.
Saya menghitung, setelah melepaskan diri dari ujung Jl. Abdullah Dg.Siruwa, tepatnya di Jl. Inspeksi PDAM (harus belok ke kanan dua kali), rentang waktu perjalanan saya rasanya lebih irit. Saya memperkirakan dari ujung Jl. Inspeksi PDAM ke Kampus, tidak lebih dari 10 menit. Padahal biasanya jika melalui pertigaan PLTU, saya membutuhkan lebih dari 10 menit. Hanya saja saya harus sabar menunggu lampui hijau menyala di poros baru itu.
Saat kendaraan saya menyeberang karena lampu hijau menyala, tiba-tiba tas kecil seorang anak sekolah dasar (SD) di depan saya terjatuh. Tepat di tengah Jl. Perintis Kemerdekaan. Anak tersebut tampak gelisah sambil selalu melihat ke belakang.
Dia terlihat sangat gelisah. Mungkin ada barang berharga di dalam tas kecilnya. Entahlah. Ibunya, yang mengenakan helm dan mengemudikan sepeda motor, tampaknya tidak mendengar ucapan anaknya yang gamang karena tasnya jatuh.
Mungkin sama sekali tidak mengetahui peristiwa yang dialami anaknya. Saya juga berpikir, apakah sang ibu akan berhenti dan kembali mengambil tas anaknya yang jatuh di tengah derasnya arus lalu lintas Jl.Perintis Kemerdekaan siang itu.
Ibu itu terus melajukan sepeda motornya ke arah pintu I Unhas, sepertinya tidak tahu sama sekali, ‘musibah’ yang menimpa anaknya. Pikiran saya yang menjadi saksi mata, juga ikut prihatin dengan kejadian itu. Apalagi melihat kegelisahan si anak tersebut.
Di tengah saya ikut “kepo” dengan kegelisahan si anak, tiba-tiba ada seorang pengendara motor melambung motor yang membawa anak itu bersama ibunya. Tepat di samping sepeda motor yang ditumpangi si anak, dia menyerahkan tas kecil miliknya yang jatuh. Anak itu tampak sedikit kaget ketika ada tangan yang menjulurkan tas ke arahnya. Saya tidak melihat bagaimana wajah anak itu setelah menerima kembali tasnya yang jatuh karena saya bergerak di belakangnya. Namun transaksi perpindahan tas dari si pemuda ke si anak berlangsung dalam ‘pengawasan’ mata saya yang sedetik pun tidak berkedip.
“Luar biasa, hati si pemuda itu,” saya membatin setelah melihat kejadian itu sambil terus menjalankan kendaraan.
Tiba-tiba saja spontan muncul di hati saya ingin menyampaikan terima kasih kepada si pemuda tersebut, meskipun keterlibatan saya karena alasan manusiawi belaka. Saya tidak mengenal anak itu. Relasi saya semata-mata lantaran ada hubungan manusiawi belaka. Prinsip yang selalu melekat dalam diri, selalu ingin berbuat terhadap sesama manusia.
Saya pun mengejar sepeda motor yang dikendarai si pemuda itu. Dia bergerak di sisi kiri Jl.Perintis Kemerdekaan menuju ke arah Pintu I Unhas. Searah dengan saya. Ketika kendaraan saya tepat di sampingnya, saya membunyikan klakson. Saat dia menoleh ke kanan, saya mengacungkan jempol tangan kanan sambil tersenyum.
“Anda telah melakukan sesuatu yang luar biasa menghapus kegelisahan anak SD tadi,” saya menggumam.
Melihat saya mengacungkan jempol, sang pemuda tersebut secara refleks, mengangkat jempolnya sambil tersenyum tipis. Tampaknya, dia membaca kekaguman saya padanya.
“Terima kasih, Bapak,” mungkin itu kata batinnya merespon bahwa ada seorang lansia yang sedang mengendarai mobil menghargai perbuatan baiknya satu dua menit yang lalu. (M.Dahlan Abubakar).