Oleh : Yulius, Camat Tomoni Timur, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan
Tanggal 9 Februari 2025, kita kembali memperingati Hari Pers Nasional. Di tengah banjir informasi yang mengalir deras, peran wartawan sering kali dipandang sebelah mata.
Publik mungkin hanya melihat hasil akhir: berita, laporan investigasi, atau liputan eksklusif. Namun, jarang yang menyadari betapa beratnya beban yang dipikul di balik layar. Wartawan bukan sekadar pekerjaan biasa. Ini adalah profesi yang menuntut dedikasi, tanggung jawab moral, dan keterampilan tinggi. Bukan sekadar urusan mencari nafkah.
Profesi dengan Beban Moral
Menjadi wartawan bukan sekadar memilih pekerjaan untuk mendapatkan gaji bulanan. Ini adalah panggilan yang memikul tanggung jawab besar kepada masyarakat. Tugas utama mereka adalah menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan relevan.
Wartawan bukan sekadar pelapor fakta, melainkan penjaga demokrasi. Bayangkan dunia tanpa wartawan. Tidak ada yang memastikan transparansi penguasa, tidak ada yang mengungkap ketidakadilan, dan tidak ada yang memberi suara kepada mereka yang tak terdengar. Wartawan adalah mata dan telinga publik, memastikan kekuasaan tidak disalahgunakan. Mereka adalah pilar penting dalam menjaga keseimbangan masyarakat.
Etika di Atas Segalanya
Setiap profesi memiliki kode etik, tetapi Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang istimewa. Wartawan dituntut menjunjung tinggi kebenaran, menghormati hak asasi manusia, dan melindungi sumber informasi. Misalnya, dalam meliput kasus korupsi, seorang wartawan harus memastikan setiap informasi yang dilaporkan telah diverifikasi, tanpa terpengaruh tekanan pihak tertentu.
Tidak jarang, wartawan menghadapi dilema etis yang sulit. Apakah harus mempublikasikan informasi sensitif yang berpotensi merugikan individu, tetapi penting bagi kepentingan publik? Dalam situasi seperti ini, wartawan tidak bisa sembarangan mengambil keputusan. Dampak sosial dari setiap berita harus dipertimbangkan dengan matang.
Komitmen Sepanjang Hayat
Menjadi wartawan bukanlah karier yang bisa dijalani setengah hati. Wartawan sejati biasanya tetap terlibat dalam dunia jurnalistik, bahkan setelah pensiun. Ini mencerminkan bahwa menjadi wartawan adalah panggilan hidup, bukan sekadar profesi untuk mengisi waktu.
Sejarah mencatat banyak wartawan yang mengorbankan kenyamanan pribadi demi mengejar kebenaran. Mereka menghadapi ancaman, intimidasi, bahkan kehilangan nyawa.
Sosok seperti Mochtar Lubis, Andreas Harsono, hingga Anna Politkovskaya, jurnalis Rusia yang terkenal karena kritiknya terhadap pemerintahan Vladimir Putin, menunjukkan bagaimana wartawan menjalani hidup penuh risiko demi mempertahankan integritas profesinya. Apakah risiko seperti ini layak disebut hanya sebagai “pekerjaan”? Tentu tidak.