Oleh: Andi Sukri Syamsuri
Pemerhati Pendidikan dan Wakil Rektor 1 Unismuh Makassar
Setiap 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional kembali mengingatkan kita pada warisan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Pendidikan, menurutnya, harus memerdekakan manusia.
Dalam konteks pendidikan tinggi, pertanyaan yang relevan adalah: sudahkah kampus hari ini menjadi ruang merdeka bagi lahirnya pemikiran kritis, cinta ilmu, dan budaya literasi?
Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa ilmu, masih belum sepenuhnya mendapatkan tempat utama dalam diskursus akademik.
Laporan Badan Bahasa (2023) menyebut bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam karya ilmiah masih kalah dibanding bahasa asing.
Padahal, menjadikan bahasa Indonesia sebagai medium berpikir dan menulis ilmiah merupakan bagian dari membangun kedaulatan intelektual. Ini bukan soal nasionalisme sempit, melainkan soal keberdayaan.
Literasi juga menjadi pilar penting dalam memajukan bangsa. Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat 2024 menunjukkan kenaikan menjadi 73,52 poin.
Namun, angka ini belum cukup. Kampus harus tampil sebagai lokomotif literasi—bukan hanya membaca dan menulis, tapi juga kemampuan bernalar, menganalisis, dan menyampaikan ide dengan jernih.
Kurikulum Merdeka dan program-program seperti MBKM membuka peluang besar untuk membangun generasi pembelajar yang reflektif dan inovatif.