PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Seorang advokat dilaporkan ke polisi. Beritanya tersebar luas di media, dan komentar publik pun mengalir deras.
Bukan semata perkara hukum biasa. Sebab sang terlapor bukan orang awam, ia adalah WNR, advokat aktif yang kerap tampil di ruang publik membela klien-kliennya.
WNR dilaporkan oleh seseorang berinisial AB ke Polrestabes Makassar. Alasannya, sejumlah pernyataan WNR di media dianggap menyerang kehormatan pribadi AB dan berpotensi mencemarkan nama baik. Polisi sudah menerima laporan itu dan kini tengah melakukan klarifikasi awal.
Kasus ini segera menyita perhatian. Bukan hanya karena melibatkan profesi advokat, tetapi juga karena memunculkan kembali perdebatan klasik dalam dunia hukum, yaitu, apakah hak imunitas advokat memang tanpa batas ?
“Imunitas tidak mutlak,” ujar Farid Mamma, advokat senior di Makassar, saat ditemui pedomanrakyat.co.id di salah satu kafe di bilangan Lombok, Sabtu siang, 24 Mei 2025.
“Perlindungan itu ada batasnya, profesionalisme dan itikad baik.” jelas Farid.
Farid, yang juga Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Sulsel, menjelaskan, dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), seorang advokat memang memiliki hak imunitas, perlindungan dari tuntutan hukum atas tindakan dalam menjalankan tugas. Namun perlindungan ini bersyarat.
Menurutnya, seorang advokat hanya dilindungi jika menyampaikan pendapat untuk kepentingan pembelaan klien dan sesuai dengan kode etik profesi.
Di luar itu, kata Farid, advokat tetap dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, baik secara etik maupun pidana.
“Pernyataan yang dimuat di media tidak boleh bersifat menyerang pribadi atau berisi janji kemenangan. Itu bisa menjadi pelanggaran etik. Apalagi kalau menjurus pada fitnah atau pencemaran nama baik,” katanya.
Bukan Benteng Mutlak
Pasal 311 KUHP disebut Farid bisa saja digunakan jika pernyataan seorang advokat terbukti sebagai tuduhan tidak berdasar yang mencemarkan nama baik orang lain.
“Setiap orang berhak atas kehormatan. Advokat tidak kebal atas itu,” ujarnya tegas.
Meski begitu, Farid mengingatkan, proses hukum harus berjalan dengan objektif dan profesional. Ia tidak serta-merta menyimpulkan kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap profesi advokat.
“Polisi wajib menerima laporan dari siapa pun. Tapi tidak semua laporan akan naik ke penyidikan. Di sinilah pentingnya klarifikasi,” kata Farid.
Ia menyebutkan, tahapan penyelidikan bertujuan untuk menentukan apakah sebuah peristiwa bisa masuk kategori tindak pidana atau tidak. Bila tidak ada cukup bukti atau tidak ditemukan unsur pidana, perkara harus dihentikan.
Antara Etika dan Hukum
Farid juga mengkritisi sikap sebagian advokat yang terlalu mudah menggunakan media sebagai ruang opini. “Kalau tidak hati-hati, publikasi bisa jadi bumerang,” ujarnya. “Apalagi jika pernyataannya lebih condong ke pencitraan daripada substansi hukum.”
Dalam pandangan Farid, media bisa menjadi alat penting untuk mendidik masyarakat tentang proses hukum, tapi hanya jika digunakan dengan penuh tanggung jawab.
“Advokat harus sadar, mereka bukan hanya pembela, tapi juga panutan etik.” ungkap Farid, mengingatkan.
Ia menambahkan, kasus WNR menjadi preseden penting. Di satu sisi, publik ingin melihat, semua warga negara setara di hadapan hukum, bahkan advokat.
"Di sisi lain, profesi ini memang memerlukan ruang gerak yang cukup luas agar bisa menjalankan tugas pembelaannya tanpa rasa takut," tukasnya.
Ujian Profesionalisme
Sampai berita ini diturunkan, belum ada penetapan tersangka dalam kasus ini. Polisi masih berada di tahap awal klarifikasi. Namun gema dari perkara ini sudah menyebar ke berbagai kalangan advokat dan akademisi hukum.
“Kasus ini harus menjadi cermin. Advokat wajib berhati-hati dalam bertutur, apalagi di ruang publik,” kata Farid lagi.
Entah bagaimana akhir perkara ini nanti, satu hal menjadi jelas, hak imunitas bukanlah benteng yang tak tertembus. Ia hanya berlaku ketika dijalankan dalam bingkai profesionalisme, bukan ambisi personal, Advokat senior Farid Mamma menandaskan. (Hdr)